Membiarkan anak prasekolah sibuk dengan gadget-nya tanpa pembatasan serta pengawasan, sama artinya kita membuka peluang si kecil jadi gadget freak. Apa artinya? Secara sederhana dapat dikatakan sudah kebablasan.
Anak dianggap sudah kebablasan bermain gadget jika sehari bermain dengan gadget lebih dari dua jam. Lalu kalau gadget-nya diambil si anak akan marah sekali, bahkan tantrum.
Pembatasan penggunaan gadget
bukan saja akan menghindari si prasekolah kebablasan tapi ada banyak
manfaat lain yang pada usianya jauh lebih penting. Yaitu memberi
kesempatan si kecil mengembangkan aspek-aspek penting dalam hidupnya.
-
Yang pertama adalah aspek sosial emosionalnya. Hal ini akan terbentuk
bila terjadi interaksi anak dengan orang lain. Dari interaksi ini anak
akan belajar budi pekerti yang merupakan fondasi dasar bagi pembentukan
karakter anak.
Di usia balita yang diperlukan anak adalah kasih sayang dan attachment
yang tinggi dari orangtuanya. Bagaimana dan seperti apa perlakuan
orangtua pada anaknya di suia ini akan menentukan seperti apa si anak
dewasanya kelak. Contoh lain, berselisih paham dengan kakak juga
merupakan belajar berinteraksi secara sosial. Bagaimana dirinya
menyikapi peristiwa tersebut dan juga bagaimana sikap orangtua
menghadapi permasalahan tersebut.
Anak juga akan belajar
memahami orang lain dan rasa empati anak menjadi lebih baik. Kesempatan
anak untuk mendapatkan kesuksesan juga menjadi lebih besar karena
kepiawaiannya menjalin interaksi dengan orang lain.
- Aspek kedua
adalah intelektual. Di usia prasekolah, yang dimaksud intelektual
belumlah yang berhubungan dengan akademik. Namun kemampuan kognitif,
dimana semakin banyak anak melihat, merasakan langsung, mencoba serta
meraba atau mencium, semakin banyak memori yang terserap di otaknya. Ini
semua hanya bisa didapat dengan pengalaman langsung dengan
berjalan-jalan atau diajak berkeliling mengamati lingkungan.
-
Ketiga, yaitu aspek fisik. Aspek fisik akan berkembang secara baik jika
si prasekolah tidak hanya duduk diam. Orangtua bisa mendorong anak
melakukan aktivitas fisik yang dapat menstimulasi keterampilan motorik
halus dan kasar seperti bermain di dalam rumah (meronce, bermain balok,
menggunting kertas, bermain kubus), bermain di luar ruang (bersepeda,
bermain bola, melompat, dan sebagainya), serta bersosialisasi dengan
teman-teman.
- Lalu keempat, aspek spiritual dimana orangtua bisa
menanamkan pada anak hal-hal yang terkait dengan agama dan
spiritualitas. Misalnya mengajak anak beribadah bersama, menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan, mensyukuri ciptaan Tuhan, mengembangkan sikap
empati, dan sebagainya.
sumber sila diklik di sini
ummi MEP's Notebook
all about moms, kids and family.....
Friday, March 21, 2014
Wednesday, January 29, 2014
KYOIKU MAMA (Education Mama)
ditulis oleh Daoed Joesoef*
Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang menjadi raksasa ekonomi di paro kedua
abad XX adalah etika kerja dari
karyawan yang stereotipe. Orang-orang yang
biasa berbaju biru tua inilah yang merupakan mesin penggerak salah satu sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern. Beginilah bunyi
cerita yang telah melegenda, sebelum
datang kesaksian dari Tony Dickensheets.
Dia adalah seorang pendidik Amerika di Charlottesville,
Virginia.
Peran Ibu
Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.
Peran Ibu
Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.
Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian
keturunan mampu memasuki
sekolah-sekolah bermutu. Maka, di balik karyawan Jepang yang beretika kerja terpuji itu ada perempuan umumnya, kyoiku mama atau
education mama khususnya.
Mereka inilah yang merupakan pilar-pilar kukuh
yang menyangga para karyawan itu. Merekalah yang membantu perkembangan
ekonomi yang luar biasa dari
bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan
pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas
sosial, yaitu dua hal yang sangat
krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu
bangsa.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan
fondasi pendidikan dan sosial yang
begitu vital bagi kinerja kebangkitan
ekonomi bangsanya. Ketika saya sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan diundang untuk meninjau
berbagai lembaga pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi negeri ini,
saya kagum melihat kebersihan ruang laboratorium di sekolah umum dan
bengkel praktik di sekolah
kejuruan teknik. Semua murid
membuka sepatu sebelum memasuki ruangan dan
menggantinya dengan sandal jepit yang
sudah tersedia di rak dekat pintu,
jadi lantai tetap bersih bagai kamar tidur.
Ketika saya tanyakan kepada guru yang mengajar di situ bagaimana cara mendisiplinkan murid
hingga bisa tertib, dia menjawab, “Yang mulia, saya hampir tidak berbuat apa-apa dalam hal ini. Ibu-ibu merekalah yang telah mengajar anak-anak berbuat begitu.”
Saya teringat sebuah kebiasaan di rumah tradisional Jepang. Alih-alih menyapu debu di
lantai, mereka masuk rumah tanpa
bersepatu/bersandal agar debu tidak masuk
rumah. Bagi mereka, kebersihan adalah suatu kebajikan. Di toko buku, saya melihat seorang ibu
sedang memilih-milih buku untuk
anaknya, seorang murid SD. Ketika
saya sapa, dia menyadari saya orang asing, dia
tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.
Perempuan dan Pendidikan
tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.
Perempuan dan Pendidikan
Lebih daripada di negeri-negeri lain, kelihatannya sistem
pendidikan dan kebudayaan Jepang mengandalkan sepenuhnya peran perempuan
dalam membesarkan anak. Karena
itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku
manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa.
Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian
dari mindset Jepang dan menjadi kunci
pendidikan dari generasi ke generasi.
Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan
perempuan Jepang kian dimantapkan selaku
kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan a purely
Japanese phenomenon. Yang memantapkan itu adalah kesadaran
para ibu Jepang sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu, dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan
anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun pekerja.
Banyak perempuan Jepang menganggap
anak sebagai ikigai mereka,
rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Jika di Barat ada anggapan
perempuan berpendidikan akademis
yang melulu tinggal di rumah membesarkan
anak sebagai wasting her talents,
di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya
berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup
untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah,
biasanya bekerja part time agar
bisa berada di rumah saat anak-anak pulang
sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan,
tetapi lebih-lebih membantu mereka
menyelesaikan dan menguasai
PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat
demi penyempurnaan pendidikannya.
Membantu Ekonomi Bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial. Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain
atribut dari sistem nilai Jepang.
Membantu Ekonomi Bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial. Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain
atribut dari sistem nilai Jepang.
Menurut Tony Dickensheets, sejak dini para pelajar Jepang menghabiskan lebih banyak waktu
untuk kegiatan sekolah daripada pelajar-pelajar Amerika. Lama rata-rata tahun sekolah anak Jepang
adalah 243 hari, sedangkan anak Amerika 178 hari. Selain menambah kira-kira dua
bulan dalam setahun untuk sekolah, sebagian
besar waktu libur anak- anak Jepang diisi
dengan kegiatan bersama teman sekelas dan guru. Bila pekerja/karyawan
berdedikasi pada perusahaan, anak-anak
berdedikasi pada sekolah. Mengingat tujuan
sekolah meliputi persiapan untuk hidup bekerja, anak didik Jepang bisa disebut
pekerja/karyawan yang sedang dalam
proses training.
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak. Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang. Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.
* Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku Emak (buku ini lumayan bagus, layak dibaca dan dijadikan kado).
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak. Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang. Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.
* Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku Emak (buku ini lumayan bagus, layak dibaca dan dijadikan kado).
sumber sila diklik di sini
Friday, January 3, 2014
Berkumpul Keluarga di Surga
Sebagai
hamba-Nya yang telah menikmati keindahan Islam, orang-orang beriman
diberikan hiburan tentang kematian. Walaupun kenikmatan dunia hilang,
sungguh kehidupan abadi telah menanti, dan kita antri menuju kesana.
Insya Allah. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk
menghindari kematian, mencari segala obat anti-penuaan, pil-pil
berkhasiat panjang umur misalnya, naudzubillahi minzaliik, Orang beriman
sangat dipengaruhi oleh pesan Baginda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
yang bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni
kematian.” (HR. Tirmidzi, No. 2229)
Satu keluarga itu
bernyanyi riang gembira di musim semi tahun lalu, masuk ke mobil mereka,
kemudian tampak anak-anak menikmati beberapa snacks, dan orang tuanya
mengobrol mesra. Tak sampai semenit kemudian saat mereka memasuki jalan
raya, “gedubraak!”, tabrakan maut terjadi, entah kenapa mobil itu
menabrak tiang besar lalu ‘menyenggol’ bus panjang yang sedang melaju
dari arah berlawanan. Pemandangan itu sangat meyeramkan, kami segera
berlalu dari riuhnya situasi jalan raya tersebut, seraya menyebut
nama-Mu, ya Allah…
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… tak ada
suami yang mendampingi, juga anak dan keluarga lainnya, persis seperti
nasehat ustadzahku dahulu, “Bahwa tak ada tempat kita bergantung setiap
waktu, kecuali Allah SWT. Di kala maut menghampiri, kita harus
menghadapinya sendirian, tiada mama papa, tiada suami, anak-anak,
saudara, siapa pun tak dapat menolong, kita hanya ditemani oleh
belaian-NYA.
Cuma Dia yang dapat memudahkan jalan menuju kesana, begitu pun saat memasuki alam kubur, hanya amalan di dunia yang kita bawa.”
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi
orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain
disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR. Ibnu Abi
ad Dunya dengan sanad hasan)
Didalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Nasai dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Atik
bahwa nabi saw bersabda,”Mati syahid itu ada tujuh macam—selain perang
di jalan Allah—yaitu syahid karena penyakit tho’un, syahid karena
tenggelam, syahid karena lumpuh, syahid karena sakit perut, syahid
karena terbakar, orang yang mati karena tertimbun reruntuhan maka ia
syahid, perempuan yang mati karena melahirkan maka ia syahid.”
Dalam sebuah hadist dinyatakan : “Seandainya dunia itu di mata Allah
sebanding harganya dengan sayap nyamuk, pasti Dia tidak memberi orang
kafir setetes air pun dari dunia itu”. (HR.at-Tirmidzi).
Orang
beriman kalaupun turut berkompetisi atau berjuang di dunia hanyalah
sebatas mengikuti secara disiplin aturan main yang telah Allah
subhaanahu wa ta’aala gariskan. Mereka tidak mengharuskan apalagi
memaksakan hasil. Sehingga bukanlah menang atau kalah yang menjadi isyu
sentral, melainkan konsistensi (baca: istiqomah) di atas jalan Allah.
Berbeda dengan orang-orang kafir dan para hamba dunia lainnya. Mereka
tidak pernah peduli dengan aturan main Allah subhaanahu wa ta’aala. Yang
penting harus menang. Prinsip hidup mereka adalah It’s now or never
(Kalau tidak sekarang, kapan lagi…?!). Sedangkan prinsip hidup orang
beriman adalah If it’s not now then it will be in the Hereafter
Banyak orang yang sangat ambisius mencapai kesuksesan duniawi, namun
alih-alih berambisi mereka justru tak memikirkan bagaimana caranya
menggapai kesuksesan ukhrawi. Mungkin mereka lupa bahwa kehidupan dunia
hanyalah sekejap semata dan kehidupan yang hakiki adalah di akherat
nanti.
Padahal bila kita ingat, kita akan berada di padang
Mahsyar kelak selama satu hari dalam perhitungan akherat yang lamanya
sama dengan 50.000 tahun perhitungan waktu dunia. Maka lamanya kehidupan
kita di dunia ini menjadi tak ada artinya apa-apa dibanding lamanya
kehidupan akherat bukan?
Maka di kehidupan kita yang sekejap
ini manfaatkanlah sebaik mungkin agar kelak kita mendapatkan hasil yang
memuaskan. Sudah selayaknya bila setiap nafas yang kita hembuskan adalah
nafas ketakwaaan. Setiap jalan yang kita tuju adalah jalan menuju
ketaatan kepada Allah swt.
Bayangkanlah kegembiraan kita kelak
di yaumil hisab, setelah berpayah-payah melalui proses hisab yang
jauh-jauh lebih menegangkan dibandingkan dengan sidang skripsi, ketika
kita berhasil menerima catatan amal kita dari tangan kanan, yang artinya
kita termasuk golongan orang-orang yang selamat dan berhak mendapatkan
surga.
Betapa bahagianya kita, apalagi bila keluarga kita,
orangtua kita (yang sama-sama telah menerima catatan dari tangan kanan)
telah menunggu kita untuk bersama-sama bergabung dalam kebahagiaan.
“Ayah…Ibu… aku menyusulmu….”
Duhai indahnya…
Subhanallah, inilah kemenangan yang agung itu yang semoga kita semua
kelak bisa memperolehnya. Namun ingat bahwa kemenangan agung itu hanya
bisa dicapai dengan sebuah kerja keras yang nyata.
“Wahai
Manusia…sesungguhnya kamu sudah berkerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu
akan menemui-Nya.Maka adapun orang yang catatanya diberikan dari
sebelah kanan, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.
Dan dia akan kembali kepada kelurganya (yang sama-sama beriman) dengan
gembira “ (QS Al-Insyiqaq ayat 6-9.)
sumber silakan klik di sini
Wednesday, December 11, 2013
Sebelum memutuskan untuk bercerai...
ditulis oleh Roni Nuryusmansyah
Meski perceraian itu tak selamanya dilarang atau dianggap buruk, tapi efek buruknya selalu ada. Bukan hanya satu efek, tapi bahkan berbagai efek yang bisa jadi terakumulasi sehingga menjadi derita yang tak tertanggungkan.
Maka, tak ada kata yang lebih indah dari anjuran untuk berupaya mencegah terjadinya perceraian. Bila piring dan gelaspun selalu dijaga agar tidak pecah, maka rumah tangga tentu harus juga dijaga agar tidak menyerpih bercerai-berai.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kebajikan dan ketakwaan apa saja yang kaum kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (QS. An-Nisa’: 128)
Seberapa banyakkah kebaikan yang telah kita lakukan selama kita hidup berumah tangga?
Kesan terbaik apa yang bisa kita banggakan saat kita harus meninggalkan panggung kehidupan indah bersama istri kita yang tercinta?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 129)
Adakah jaminan bahwa kita telah berlaku baik terhadap pasangan kita dalam kehidupan berumah tangga? Bila perceraian itu terjadi, sebagai seorang suami, sudahkah kita berani bertanggung jawab telah menjadi suami yang baik?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah kalian lupakan keutamaan di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Melihat atas apa yang kalian kerjakan…” (QS. Al-Baqarah: 237)
Bila tenun perkawinan telah terurai benang-benangnya, masihkah ada pengakuan dalam diri kita terhadap kebaikan dan kelebihan mantan pasangan kita? Atau kita akan menjadi mantan suami yang hatinya terbalut seribu satu dendam?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa’: 128)
Sudahkah kita melakukan segala cara untuk mencapai perdamaian dengan pasangan kita?
Ataukah perceraian itu mengalir sedemikian cepatnya sampai kita tidak mengetahui bahwa hidup bersama masih jauh lebih indah daripada perpisahan selamanya?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kalau kalian harus menceraikan istri-istri kalian, lalu datang masa iddah, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula.” (QS. Al-Baqarah: 231)
Kalaupun perceraian harus terjadi, seyogyanya tindakan monumental itu dilakukan secara baik, menurut adab, etika, dan petunjuk Islam. Bila masih ada kesempatan untuk kembali, dan hal itu terlihat lebih baik, maka kembalilah dengan cara yang baik pula.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri.” (HR. Tirmidzi)
Saat jalan menuju perceraian kita kuakkan, maka predikat sebagai yang terbaik tetap harus kita raih. Sebagai suami misalnya, hanya dianggap yang terbaik bia ia mempergauli istrinya dengan cara terbaik. Kalaupun terpaksa menceraikannya, tetap harus dengan cara yang terbaik. Coba pikirkan juga nasib yang akan dijalani oleh sang istri bila perceraian itu terjadi, seperti halnya kita memikirkan nasib yang akan kita alami kelak.
Dalam hadis Umar, diceritakan, “Kami dari kalangan Quraisy, biasa mengalahkan wanita-wanita kami. Ketika kami datang ke kota Al-Madinah berjumpa dengan kaum Al-Anshar, tiba-tiba kami dapati mereka adalah kaum yang dikuasai oleh kaum wanita. Hampir-hampir saja wanita-wanita kami meniru kebiasaan wanita-wanita Al-Anshar. Aku pernah membentak istriku, namun ia melawan. Aku menyalahkan perbuatannya yang melawan diriku.
‘Kenapa engkau menyalahkan diriku yang melawan kepadamu? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabipun melawan beliau. Sampai ada salah satu istri beliau yang meninggalkan beliau sehari semalam,’ jawab istriku.
Pernyataan istriku itu sungguh membuat diriku terkejut. ‘Sungguh celaka wanita yang melakukan perbuatan seperti itu,’ ujarku.” (HR. Bukhari)
Cobalah perhatikan. Ternyata kejadian itupun pernah terjadi dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan rumah tangga para Sahabat beliau. Maka cobalah untuk bersabar untuk mempertahankan mahligai rumah tangga. Meskipun sebagai suami, kita mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya. Bisa jadi sebagian dari hak kita hilang, tapi apakah sepadan bila dengan gantinya kita harus membayarnya dengan perceraian? Dan apakah dengan perceraian itu hak kitapun bisa kita peroleh?
Selain itu, kaum wanita juga patut merenungi kembali bayangan hitam perceraian dengan melongok lembaran sejarah kehidupan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu hari Abu Bakar meminta izin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba ia mendengar Aisyah bersuara dengan keras. Ketika ia sudah masuk, ia segera menemui Aisyah untuk menamparnya, “Sungguh aku menyaksikan sendiri engkau berteriak keras melebihi suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Namun Nabi justru mencegahnya. Abu Bakarpun keluar dalam keadaan penuh amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana sikapmu sekarang setelah engaku melihatku menyelamatkan dirimu dari kemarahan laki-laki (ayahmu) tadi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan teguran yang sungguh menyentuh hati Aisyah. Beliau tidak membalas pekikan Aisyah dengan bentakan yang lebih keras, atau teguran dengan suara menyentak-nyentak. Beliau hanya diam, bahkan saat Abu Bakar, yang notabene adalah ayah dari Aisyah sendiri, sudah begitu murkan terhadap putrinya sendiri. Wajar, karena yang dihadapi Aisyah adalah Rasulullah. Tapi, lihatlah, bagaimana sikap beliau?
Hanya kepribadian beliau nan agung sebagai seorang nabi dan keberadaan beliau sebagai suri teladan utama dalam Islam yang menghalangi beliau untuk membiarkan Abu Bakar melabrak putrinya sendiri. Karena pandangan Abu Bakar tidaklah salah. Tak seorangpun berhak berteriak melebihi suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk istri beliau sendiri. Namun ini juga merupakan pembelajaran bagi para suami agar bersikap sabar. Toh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersabar, meskipun beliau lebih berhak untuk marah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesamanya, niscaya sudah aku perintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)
Sejauh manakah sebagai istri kita telah berbakti terhadap suami kita?
Akankah panggung rumah tangga ini akan kita tutup tirainya dengan peran akhir kita sebagai istri durhaka?
Tidak malukah kita menghadap Allah dengan wajah tercoreng moreng?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kali seorang wanita menyakiti suaminya di dunia ini, pasti istri suaminya itu dari kalangan bidadari Surga akan berkata, ‘Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allah membunuhmu. Ia hanya titipan buat dirimu, sebentar lagi ia akan meninggalkanmu dan menemui kami.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai istri, sejauh mana pula kita telah berupaya membahagiakan suami kita selama ini?
Akankah kita membiarkan terjadinya perceraian dengan status sebagai pecundang?
Saat sekian bidadari menyambut kehadiran suami kita, bukankah kita hanya memiliki sekilas kenangan yang suatu saat tidak akan berarti lagi?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak akan melihat wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia betul-betul membutuhkannya.” (lihat Al-Mustadrak)
Kepada istri, suami, dan siapapun yang terlibat dalam kasus perceraian pasangan suami istri yang sebelumnya hidup dengan tentram, cobalah sejenak berpikir lebih mendalam:
Sederetan bocah-bocah tak bersalah akan menjadi anak-anak terlantar.
Sekumpulan para wanita suci akan termenung membayangkan kenangan manisnya.
Sekian pria menduda terpaksa mengurus diri sendiri, terlepas dari sentuhan lembut istri dan anak-anak tercinta.
Cobalah pikirkan, saat sepasang makhluk hidup yang hidup penuh cinta kasih, akan berubah menjadi para musuh yang memperlihatkan dirinya sebagai orang yang terbebas dari salah?
Di sisi lain, banyak orang tua yang akan menonton kesedihan anak-anaknya, saat mereka meratapi perpisahan dengan buah hati mereka!! Sebelum itu terjadi, berupayalah sebaik mungkin agar kepedihan itu tidak pernah terjadi.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bertolong-tolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. Sesungguhnys Allah Maha Hebat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)
Suami maupun istri, masih memegang kendali keputusan, selama mereka masih mau bertolong-tolongan dalam ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS. Al-Anfal: 1)
Akad pernikahan adalah ikatan persaudaraan, sementara perceraian adalah pemutus cinta kasih dan kebersamaan.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan. Kemudian beliau menganyam jari-jari tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
sumber silakan klik di sini
Meski perceraian itu tak selamanya dilarang atau dianggap buruk, tapi efek buruknya selalu ada. Bukan hanya satu efek, tapi bahkan berbagai efek yang bisa jadi terakumulasi sehingga menjadi derita yang tak tertanggungkan.
Maka, tak ada kata yang lebih indah dari anjuran untuk berupaya mencegah terjadinya perceraian. Bila piring dan gelaspun selalu dijaga agar tidak pecah, maka rumah tangga tentu harus juga dijaga agar tidak menyerpih bercerai-berai.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kebajikan dan ketakwaan apa saja yang kaum kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (QS. An-Nisa’: 128)
Seberapa banyakkah kebaikan yang telah kita lakukan selama kita hidup berumah tangga?
Kesan terbaik apa yang bisa kita banggakan saat kita harus meninggalkan panggung kehidupan indah bersama istri kita yang tercinta?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 129)
Adakah jaminan bahwa kita telah berlaku baik terhadap pasangan kita dalam kehidupan berumah tangga? Bila perceraian itu terjadi, sebagai seorang suami, sudahkah kita berani bertanggung jawab telah menjadi suami yang baik?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah kalian lupakan keutamaan di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Melihat atas apa yang kalian kerjakan…” (QS. Al-Baqarah: 237)
Bila tenun perkawinan telah terurai benang-benangnya, masihkah ada pengakuan dalam diri kita terhadap kebaikan dan kelebihan mantan pasangan kita? Atau kita akan menjadi mantan suami yang hatinya terbalut seribu satu dendam?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa’: 128)
Sudahkah kita melakukan segala cara untuk mencapai perdamaian dengan pasangan kita?
Ataukah perceraian itu mengalir sedemikian cepatnya sampai kita tidak mengetahui bahwa hidup bersama masih jauh lebih indah daripada perpisahan selamanya?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kalau kalian harus menceraikan istri-istri kalian, lalu datang masa iddah, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula.” (QS. Al-Baqarah: 231)
Kalaupun perceraian harus terjadi, seyogyanya tindakan monumental itu dilakukan secara baik, menurut adab, etika, dan petunjuk Islam. Bila masih ada kesempatan untuk kembali, dan hal itu terlihat lebih baik, maka kembalilah dengan cara yang baik pula.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri.” (HR. Tirmidzi)
Saat jalan menuju perceraian kita kuakkan, maka predikat sebagai yang terbaik tetap harus kita raih. Sebagai suami misalnya, hanya dianggap yang terbaik bia ia mempergauli istrinya dengan cara terbaik. Kalaupun terpaksa menceraikannya, tetap harus dengan cara yang terbaik. Coba pikirkan juga nasib yang akan dijalani oleh sang istri bila perceraian itu terjadi, seperti halnya kita memikirkan nasib yang akan kita alami kelak.
Dalam hadis Umar, diceritakan, “Kami dari kalangan Quraisy, biasa mengalahkan wanita-wanita kami. Ketika kami datang ke kota Al-Madinah berjumpa dengan kaum Al-Anshar, tiba-tiba kami dapati mereka adalah kaum yang dikuasai oleh kaum wanita. Hampir-hampir saja wanita-wanita kami meniru kebiasaan wanita-wanita Al-Anshar. Aku pernah membentak istriku, namun ia melawan. Aku menyalahkan perbuatannya yang melawan diriku.
‘Kenapa engkau menyalahkan diriku yang melawan kepadamu? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabipun melawan beliau. Sampai ada salah satu istri beliau yang meninggalkan beliau sehari semalam,’ jawab istriku.
Pernyataan istriku itu sungguh membuat diriku terkejut. ‘Sungguh celaka wanita yang melakukan perbuatan seperti itu,’ ujarku.” (HR. Bukhari)
Cobalah perhatikan. Ternyata kejadian itupun pernah terjadi dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan rumah tangga para Sahabat beliau. Maka cobalah untuk bersabar untuk mempertahankan mahligai rumah tangga. Meskipun sebagai suami, kita mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya. Bisa jadi sebagian dari hak kita hilang, tapi apakah sepadan bila dengan gantinya kita harus membayarnya dengan perceraian? Dan apakah dengan perceraian itu hak kitapun bisa kita peroleh?
Selain itu, kaum wanita juga patut merenungi kembali bayangan hitam perceraian dengan melongok lembaran sejarah kehidupan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu hari Abu Bakar meminta izin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba ia mendengar Aisyah bersuara dengan keras. Ketika ia sudah masuk, ia segera menemui Aisyah untuk menamparnya, “Sungguh aku menyaksikan sendiri engkau berteriak keras melebihi suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Namun Nabi justru mencegahnya. Abu Bakarpun keluar dalam keadaan penuh amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana sikapmu sekarang setelah engaku melihatku menyelamatkan dirimu dari kemarahan laki-laki (ayahmu) tadi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan teguran yang sungguh menyentuh hati Aisyah. Beliau tidak membalas pekikan Aisyah dengan bentakan yang lebih keras, atau teguran dengan suara menyentak-nyentak. Beliau hanya diam, bahkan saat Abu Bakar, yang notabene adalah ayah dari Aisyah sendiri, sudah begitu murkan terhadap putrinya sendiri. Wajar, karena yang dihadapi Aisyah adalah Rasulullah. Tapi, lihatlah, bagaimana sikap beliau?
Hanya kepribadian beliau nan agung sebagai seorang nabi dan keberadaan beliau sebagai suri teladan utama dalam Islam yang menghalangi beliau untuk membiarkan Abu Bakar melabrak putrinya sendiri. Karena pandangan Abu Bakar tidaklah salah. Tak seorangpun berhak berteriak melebihi suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk istri beliau sendiri. Namun ini juga merupakan pembelajaran bagi para suami agar bersikap sabar. Toh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersabar, meskipun beliau lebih berhak untuk marah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesamanya, niscaya sudah aku perintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)
Sejauh manakah sebagai istri kita telah berbakti terhadap suami kita?
Akankah panggung rumah tangga ini akan kita tutup tirainya dengan peran akhir kita sebagai istri durhaka?
Tidak malukah kita menghadap Allah dengan wajah tercoreng moreng?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kali seorang wanita menyakiti suaminya di dunia ini, pasti istri suaminya itu dari kalangan bidadari Surga akan berkata, ‘Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allah membunuhmu. Ia hanya titipan buat dirimu, sebentar lagi ia akan meninggalkanmu dan menemui kami.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai istri, sejauh mana pula kita telah berupaya membahagiakan suami kita selama ini?
Akankah kita membiarkan terjadinya perceraian dengan status sebagai pecundang?
Saat sekian bidadari menyambut kehadiran suami kita, bukankah kita hanya memiliki sekilas kenangan yang suatu saat tidak akan berarti lagi?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak akan melihat wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia betul-betul membutuhkannya.” (lihat Al-Mustadrak)
Kepada istri, suami, dan siapapun yang terlibat dalam kasus perceraian pasangan suami istri yang sebelumnya hidup dengan tentram, cobalah sejenak berpikir lebih mendalam:
Sederetan bocah-bocah tak bersalah akan menjadi anak-anak terlantar.
Sekumpulan para wanita suci akan termenung membayangkan kenangan manisnya.
Sekian pria menduda terpaksa mengurus diri sendiri, terlepas dari sentuhan lembut istri dan anak-anak tercinta.
Cobalah pikirkan, saat sepasang makhluk hidup yang hidup penuh cinta kasih, akan berubah menjadi para musuh yang memperlihatkan dirinya sebagai orang yang terbebas dari salah?
Di sisi lain, banyak orang tua yang akan menonton kesedihan anak-anaknya, saat mereka meratapi perpisahan dengan buah hati mereka!! Sebelum itu terjadi, berupayalah sebaik mungkin agar kepedihan itu tidak pernah terjadi.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bertolong-tolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. Sesungguhnys Allah Maha Hebat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)
Suami maupun istri, masih memegang kendali keputusan, selama mereka masih mau bertolong-tolongan dalam ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS. Al-Anfal: 1)
Akad pernikahan adalah ikatan persaudaraan, sementara perceraian adalah pemutus cinta kasih dan kebersamaan.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan. Kemudian beliau menganyam jari-jari tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
sumber silakan klik di sini
:: Bahagia itu Sederhana, kawan ^_^
ditulis oleh Roni Nuryusmansyah
Ada begitu banyak hal kecil yang bisa membuat seorang manusia bahagia. Kecil? Ya, kecil di mata kebanyakan manusia namun begitu berharga bagi segelintir manusia..
Seorang anak kecil bisa bahagia ketika mengejar anak-anak ayam, tak takut dengan induk ayam yang suatu saat bisa marah dan balik menyerang..
Ia bisa bahagia ketika melangkahkan kaki, mendengar suara ciit ciit ciit terdengar dari sandal baru yang dibelikan oleh ibunya siang tadi..
Ia bisa bahagia ketika menyeringai, melihat bagaimana ibunya meneteskan betadine ke kakinya yang terluka karena jatuh belajar sepeda..
Ia bisa bahagia ketika mendengar suara “Assalamu ‘alaikum” dari bibir ayahnya ketika pulang dari bekerja, terlebih lagi jika membawa sebungkus plastik hitam, berharap isinya adalah sesuatu yang bisa dimakan..
Ia bisa bahagia mendengar ibunya bercerita kisah-kisah Nabi dan para ulama menjelang tidur tiap malamnya..
Seorang ayah bisa bahagia ketika bermandikan peluh, melangkahkan kaki menuju rumah tercinta..
Ia bisa bahagia ketika menggenggam tangan anaknya, menyeberang jalan di pagi hari, mengantarnya pergi sekolah..
Ia bisa bahagia ketika anaknya memasang wajah polos, sok bingung seperti orang dewasa, seraya bertanya, “Ayah, mengapa Allah menciptakan malam yang begitu dingin?”
Ia bisa bahagia ketika mengajari anaknya bagaimana cara memakai baju sendiri..
Ia bisa bahagia ketika menyelimuti anaknya yang tengah terlelap tidur, mematikan lampu kamar, karena walau dalam gelap, anaknya masih bisa melihat mimpi-mimpinya..
Ia bisa bahagia ketika mendengar suara gemerincing uang koin yang ia tabung tiap hari untuk masa depan anaknya..
Seorang ibu pun bisa bahagia ketika melihat anaknya memasukkan suapan pertama setiap sarapan di pagi hari, lalu berkata, “Masakan ibu memang paling enak sedunia”..
Ia bisa bahagia ketika mengusap keringat di dahinya saat melihat lantai rumah bersih, piring bersih, pakaian bersih, semua serba bersih..
Ia bisa bahagia ketika mengernyitkan dahi, memutar otak, mencoba menjawab beribu pertanyaan yang dilontarkan oleh sang buah hati agar bisa memberikan jawaban terbaik..
Ia bisa bahagia ketika menyiapkan secangkir minuman favorit sang suami saat pulang kerja, entah kopi, teh, susu, entah rasanya manis, ataupun pahit..
Ia bisa bahagia ketika menyimak bacaan iqro’ anaknya dengan suaranya yang begitu lucu, menggemaskan..
Semua manusia bisa bahagia dengan hal-hal kecil, kawan..
Seorang kenek bus kota bisa bahagia ketika mendengar suara kaca diketuk-ketuk pakai koin tanda penumpang hendak turun..
Seorang penjual sayur bisa bahagia ketika menyiapkan sayur pesanan harian pelanggannya tanpa diminta..
Seorang kuli bangunan bisa bahagia ketika menyusun bata keseratus di hari itu..
Seorang pengajar bisa bahagia ketika memberi tanda benar saat memeriksa lembar jawaban sang murid..
Seorang murid bisa bahagia ketika mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti setelah bekerja keras memahami penjelasan dari sang guru..
Dan aku, kamu, kalian, kita, penuntut ilmu, bisa bahagia ketika membolak-balikkan buku, menyingkirkan debu-debu yang berada di atas kertas, terkadang dengan tangan, terkadang dengan tiupan, huuuuffff..
Kita bisa bahagia ketika mendengar adzan dari speaker masjid yang syahdu dan mendayu-dayu..
Kita bisa bahagia ketika menajamkan ujung pensil untuk mencatat faidah dari sebuah buku, bak mendapat harta karun yang dicari bertahun-tahun..
Kita bisa bahagia ketika merunduk luluh, membasahi tempat sujud dengan air mata, takut akan Dzat Yang Maha Perkasa..
Kita bisa bahagia ketika membasahi kerongkongan dengan seteguk air, setelah mencoba menahan lapar dan haus lebih dari 12 jam..
Kita bisa bahagia ketika menggaruk-garuk kepala, bukan karena ketombe, tapi karena mencoba memahami permasalahan polemik yang diperselisihkan ulama dari masa ke masa..
Kita bisa bahagia ketika mendengar bacaan imam dengan tartil, melafalkan kalam-kalam Ilahi yang penuh pesona, indah tak terkira..
Kita bisa bahagia ketika mendapati lisan kita basah, berdzikir mengingat Allah, tak hanya pagi petang..
Kita bisa bahagia ketika membasuh muka dengan air, tak peduli panas ataupun dingin..
Kita bisa bahagia ketika melangkahkan kaki walau dengan sepasang sendal usang, memenuhi panggilan adzan..
Kita bisa bahagia dan bahkan sangat bahagia, ketika melihat keluarga kita bersama-sama berada di atas ketaatan kepada Dzat Yang Maha Kuasa..
Ternyata, kalian tak harus menunggu uang berjuta-juta di ATM untuk bahagia..
Tak harus menanti titel berbaris bak semut di depan dan belakang nama untuk bahagia..
Tak harus melihat mobil Rolls-Royce terparkir indah di dalam garasi rumah untuk bahagia..
Tak harus melihat anak wisuda dari Universitas ternama untuk bahagia..
Tak harus memiliki rumah seukuran White House di Washington sana untuk bahagia..
Tak harus mengoleksi guci antik seharga sekian juta terpajang di dalam rumah untuk bahagia..
Tak harus mengarungi tujuh samudera, mendaki tujuh gunung, berkeliling dunia, untuk bahagia..
Tak harus menjadi orang lain untuk bahagia..
Kalian bisa bahagia walau dengan hal kecil yang bisa kalian ciptakan detik ini juga..
Hiasi hidupmu dengan hal-hal kecil, yang bisa membuatmu bahagia, tak hanya untuk dunia, tapi juga akhirat, kampung halaman kita..
Sederhana, bukan?
sumber silakan klik di sini
Ada begitu banyak hal kecil yang bisa membuat seorang manusia bahagia. Kecil? Ya, kecil di mata kebanyakan manusia namun begitu berharga bagi segelintir manusia..
Seorang anak kecil bisa bahagia ketika mengejar anak-anak ayam, tak takut dengan induk ayam yang suatu saat bisa marah dan balik menyerang..
Ia bisa bahagia ketika melangkahkan kaki, mendengar suara ciit ciit ciit terdengar dari sandal baru yang dibelikan oleh ibunya siang tadi..
Ia bisa bahagia ketika menyeringai, melihat bagaimana ibunya meneteskan betadine ke kakinya yang terluka karena jatuh belajar sepeda..
Ia bisa bahagia ketika mendengar suara “Assalamu ‘alaikum” dari bibir ayahnya ketika pulang dari bekerja, terlebih lagi jika membawa sebungkus plastik hitam, berharap isinya adalah sesuatu yang bisa dimakan..
Ia bisa bahagia mendengar ibunya bercerita kisah-kisah Nabi dan para ulama menjelang tidur tiap malamnya..
Seorang ayah bisa bahagia ketika bermandikan peluh, melangkahkan kaki menuju rumah tercinta..
Ia bisa bahagia ketika menggenggam tangan anaknya, menyeberang jalan di pagi hari, mengantarnya pergi sekolah..
Ia bisa bahagia ketika anaknya memasang wajah polos, sok bingung seperti orang dewasa, seraya bertanya, “Ayah, mengapa Allah menciptakan malam yang begitu dingin?”
Ia bisa bahagia ketika mengajari anaknya bagaimana cara memakai baju sendiri..
Ia bisa bahagia ketika menyelimuti anaknya yang tengah terlelap tidur, mematikan lampu kamar, karena walau dalam gelap, anaknya masih bisa melihat mimpi-mimpinya..
Ia bisa bahagia ketika mendengar suara gemerincing uang koin yang ia tabung tiap hari untuk masa depan anaknya..
Seorang ibu pun bisa bahagia ketika melihat anaknya memasukkan suapan pertama setiap sarapan di pagi hari, lalu berkata, “Masakan ibu memang paling enak sedunia”..
Ia bisa bahagia ketika mengusap keringat di dahinya saat melihat lantai rumah bersih, piring bersih, pakaian bersih, semua serba bersih..
Ia bisa bahagia ketika mengernyitkan dahi, memutar otak, mencoba menjawab beribu pertanyaan yang dilontarkan oleh sang buah hati agar bisa memberikan jawaban terbaik..
Ia bisa bahagia ketika menyiapkan secangkir minuman favorit sang suami saat pulang kerja, entah kopi, teh, susu, entah rasanya manis, ataupun pahit..
Ia bisa bahagia ketika menyimak bacaan iqro’ anaknya dengan suaranya yang begitu lucu, menggemaskan..
Semua manusia bisa bahagia dengan hal-hal kecil, kawan..
Seorang kenek bus kota bisa bahagia ketika mendengar suara kaca diketuk-ketuk pakai koin tanda penumpang hendak turun..
Seorang penjual sayur bisa bahagia ketika menyiapkan sayur pesanan harian pelanggannya tanpa diminta..
Seorang kuli bangunan bisa bahagia ketika menyusun bata keseratus di hari itu..
Seorang pengajar bisa bahagia ketika memberi tanda benar saat memeriksa lembar jawaban sang murid..
Seorang murid bisa bahagia ketika mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti setelah bekerja keras memahami penjelasan dari sang guru..
Dan aku, kamu, kalian, kita, penuntut ilmu, bisa bahagia ketika membolak-balikkan buku, menyingkirkan debu-debu yang berada di atas kertas, terkadang dengan tangan, terkadang dengan tiupan, huuuuffff..
Kita bisa bahagia ketika mendengar adzan dari speaker masjid yang syahdu dan mendayu-dayu..
Kita bisa bahagia ketika menajamkan ujung pensil untuk mencatat faidah dari sebuah buku, bak mendapat harta karun yang dicari bertahun-tahun..
Kita bisa bahagia ketika merunduk luluh, membasahi tempat sujud dengan air mata, takut akan Dzat Yang Maha Perkasa..
Kita bisa bahagia ketika membasahi kerongkongan dengan seteguk air, setelah mencoba menahan lapar dan haus lebih dari 12 jam..
Kita bisa bahagia ketika menggaruk-garuk kepala, bukan karena ketombe, tapi karena mencoba memahami permasalahan polemik yang diperselisihkan ulama dari masa ke masa..
Kita bisa bahagia ketika mendengar bacaan imam dengan tartil, melafalkan kalam-kalam Ilahi yang penuh pesona, indah tak terkira..
Kita bisa bahagia ketika mendapati lisan kita basah, berdzikir mengingat Allah, tak hanya pagi petang..
Kita bisa bahagia ketika membasuh muka dengan air, tak peduli panas ataupun dingin..
Kita bisa bahagia ketika melangkahkan kaki walau dengan sepasang sendal usang, memenuhi panggilan adzan..
Kita bisa bahagia dan bahkan sangat bahagia, ketika melihat keluarga kita bersama-sama berada di atas ketaatan kepada Dzat Yang Maha Kuasa..
Ternyata, kalian tak harus menunggu uang berjuta-juta di ATM untuk bahagia..
Tak harus menanti titel berbaris bak semut di depan dan belakang nama untuk bahagia..
Tak harus melihat mobil Rolls-Royce terparkir indah di dalam garasi rumah untuk bahagia..
Tak harus melihat anak wisuda dari Universitas ternama untuk bahagia..
Tak harus memiliki rumah seukuran White House di Washington sana untuk bahagia..
Tak harus mengoleksi guci antik seharga sekian juta terpajang di dalam rumah untuk bahagia..
Tak harus mengarungi tujuh samudera, mendaki tujuh gunung, berkeliling dunia, untuk bahagia..
Tak harus menjadi orang lain untuk bahagia..
Kalian bisa bahagia walau dengan hal kecil yang bisa kalian ciptakan detik ini juga..
Hiasi hidupmu dengan hal-hal kecil, yang bisa membuatmu bahagia, tak hanya untuk dunia, tapi juga akhirat, kampung halaman kita..
Sederhana, bukan?
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
sumber silakan klik di sini
Tuesday, December 3, 2013
Khasiat Kulit Semangka untuk Kulit Wajah
Kebanyakan orang memanfaatkan buah semangka hanya untuk memakan dagingnya dan membuang kulitnya begitu saja. Tapi ternyata kulitnya bermanfaat karena memiliki zat antioksidan yang bagus untuk wajah dan tubuh. Apakah kamu termasuk yang suka membuang kulit semangka?
Kadar Likopen pada kulit semangka mampu melindungi Anda dari efek buruk radikal bebas yang merangsang penuaan dini pada kulit Anda. Masker kulit semangka bisa membuat wajah Anda terlihat lebih segar dan meringkas pori-pori. Jika digunakan secara rutin dan teratur, masker daari kulit semangka kabarnya bisa menyamarkan flek hitam yang ada di wajah. Kandungan vitamin pada kulit semangka bisa membantu kulit wajah Anda pulih setelah ditumbuhi jerawat.
Masker kulit semangka dapat dibuat dengan cara menjemurnya sampai kering kemudian digiling. Gilingan ini bisa diaduk dengan air atau campuran lidah buaya dan mentimun. Masker ini dapat digunakan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Oleskan pada wajah dan diamkan selama 15 sampai 20 menit. Setelah itu rasakan perbedaannya. Kulit akan terasa lebih lembut dan kencang.
Tak hanya kulitnya, pasti kalian sudah tau selain rasanya yang enak daging dari semangka ini banyak memiliki manfaat. Semangka merupakan sumber makanan yang kaya akan likopen, vitamin C dan A. Semua nutrisi ini dapat mengurangi paparan radikal bebas yang dapat menyebabkan garis-garis halus, keriput dan bintik-bintik hitam pada kulit. Kandungan antioksidan dalam semangka juga mengurangi deposito radikal bebas dalam tubuh dan mencegah semua tanda-tanda penuaan kulit. Anda dapat menggunakan semangka sebagai masker dan mengonsumsi buahnya untuk mendapatkan hasil terbaik.
Memijat kulit dengan masker semangka setiap hari adalah obat alami untuk menyembuhkan jerawat. Jika Anda rentan terhadap jerawat, gunakan semangka untuk mengatasi masalah kulit Anda.
Ini adalah beberapa manfaat kecantikan dari buah semangka. Masukkan sepotong kapas ke dalam jus semangka dan oleskan pada wajah setelah membersihkannya terlebih dahulu. Biarkan selama 15 menit dan kemudian bilas dengan air dingin. Jika Anda ingin membuat masker wajah dengan menggunakan buah semangka, jangan lupa tambahkan madu atau yogurt untuk mendapatkan hasil terbaik. Kemudian oleskan merata pada wajah dan leher.
Bagaimana ibu-ibu ? Mau mencoba membuat sendiri masker kulit semangka? Jadi, setelah makan buah semangka jangan langsung dibuang yah kulitnya!
sumber silakan klik di sini
Wednesday, August 14, 2013
Lebih Khawatir manakah, tidak pandai Matematika atau Mengantri ?
Seorang guru
di Australia pernah berkata:
“Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika” kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
“Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu ?” Kerena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya.
Inilah jawabannya:
Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb.
Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.
”Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI ?”
”Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya;”
Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting..
Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.
Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain.
dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan anda temukan sendiri sisanya.
Saya sempat tertegun mendengarkan butir-butir penjelasannya. Dan baru saja menyadari hal ini saat satu ketika mengajak anak kami berkunjung ke tempat bermain anak KidZania di Jakarta.
Apa yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya, dalam mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan.
Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk ”menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata ”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!”
Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dsb. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
Ada orang tua yang malah marah2 karena di tegur anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
dan berbagai macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga?
Ah sayang sekali ya.... padahal disana juga banyak pengunjung orang Asing entah apa yang ada di kepala mereka melihat kejadian semacam ini?
Ah sayang sekali jika orang tua, guru, dan Kementrian Pendidikan kita masih saja meributkan anak muridnya tentang Ca Lis Tung (Baca Tulis Hitung), Les Matematika dan sejenisnya. Padahal negara maju saja sudah berpikiran bahwa mengajarkan MORAL pada anak jauh lebih penting dari pada hanya sekedar mengajarkan anak pandai berhitung.
Ah sayang sekali ya... Mungkin itu yang menyebabkan negeri ini semakin jauh saja dari praktek-praktek hidup yang beretika dan bermoral?
Ah sayang sekali ya... seperti apa kelak anak2 yang suka menyerobot antrian sejak kecil ini jika mereka kelak jadi pemimpin di negeri ini?
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua juga para pendidik di seluruh tanah air tercinta. Untuk segera menyadari bahwa mengantri adalah pelajaran sederhana yang banyak sekali mengandung pelajaran hidup bagi anak dan harus di latih hingga menjadi kebiasaan setiap anak Indonesia. Mari kita ajari generasi muda kita untuk mengantri, untuk Indonesia yang lebih baik...
“Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika” kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
“Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu ?” Kerena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya.
Inilah jawabannya:
Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb.
Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.
”Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI ?”
”Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya;”
Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting..
Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.
Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain.
dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan anda temukan sendiri sisanya.
Saya sempat tertegun mendengarkan butir-butir penjelasannya. Dan baru saja menyadari hal ini saat satu ketika mengajak anak kami berkunjung ke tempat bermain anak KidZania di Jakarta.
Apa yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya, dalam mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan.
Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk ”menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata ”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!”
Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dsb. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
Ada orang tua yang malah marah2 karena di tegur anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
dan berbagai macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga?
Ah sayang sekali ya.... padahal disana juga banyak pengunjung orang Asing entah apa yang ada di kepala mereka melihat kejadian semacam ini?
Ah sayang sekali jika orang tua, guru, dan Kementrian Pendidikan kita masih saja meributkan anak muridnya tentang Ca Lis Tung (Baca Tulis Hitung), Les Matematika dan sejenisnya. Padahal negara maju saja sudah berpikiran bahwa mengajarkan MORAL pada anak jauh lebih penting dari pada hanya sekedar mengajarkan anak pandai berhitung.
Ah sayang sekali ya... Mungkin itu yang menyebabkan negeri ini semakin jauh saja dari praktek-praktek hidup yang beretika dan bermoral?
Ah sayang sekali ya... seperti apa kelak anak2 yang suka menyerobot antrian sejak kecil ini jika mereka kelak jadi pemimpin di negeri ini?
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua juga para pendidik di seluruh tanah air tercinta. Untuk segera menyadari bahwa mengantri adalah pelajaran sederhana yang banyak sekali mengandung pelajaran hidup bagi anak dan harus di latih hingga menjadi kebiasaan setiap anak Indonesia. Mari kita ajari generasi muda kita untuk mengantri, untuk Indonesia yang lebih baik...
**sumber diambil dari status akun facebook Arif Setiawan
Subscribe to:
Posts (Atom)