Saya pun jadi ingat saat saya tinggal
sebuah perumahan yang umumnya dihuni keluarga muda di Pekanbaru.
Menjelang tahun ajaran baru seperti ini para ibu sibuk ngobrolin sekolah
TK paling bagus menurut mereka. Tak jarang mereka beradu argumentasi
untuk mempertahankan pendapat bahwa sekolah pilihannya lah yang paling
bagus. Untuk saya pribadi, memilih sekolah TK nggak usah terlalu dibikin
rumit pilih saja sekolah dekat rumah, alasannya tentu karena lebih
mudah untuk urusan antar jemputnya.
Ternyata orang tua yang memiliki putra
putri usia SD juga tak kalah pusingnya. Karena masuk SD sekarang
syaratnya bukan main ribetnya, dibandingkan tahun 1982 saat saya masuk
SD. Kalau dulu, asal mau daftar sekolah saja pihak sekolah pasti dengan
senang hati menerima. Sekarang SD saja sudah banyak macamnya, ada yang
namanya sekolah unggulan, sekolah binaan, sekolah Islam terpadu, sekolah
alam, sekolah full day dan entah apa lagi namanya. Label sekolah
favorit disematkan pada sekolah-sekolah tertentu dengan fasilitas
sekolah yang lengkap dan nilai UASBN lulusannya di atas rata-rata.
Semakin banyak jenis sekolah, semakin banyak pula jenis tes masuknya,
tak kalah dengan tes masuk perguruan tinggi.
Fenomena tes calistung memang marak
beberapa tahun belakangan ini. Katanya sih untuk menyaring siswa yang
akan mendaftar ke sebuah SD, terutama sekolah unggulan atau sekolah
favorit milik pemerintah atau SD negeri. Karena peminatnya lebih banyak
dari daya tampung sekolah maka pihak sekolah menyeleksi calon siswa
dengan tes calistung selain seleksi umur. Banyak orang mempertanyakan
tes ini, karena dalam peraturan penerimaan siswa baru, tes calistung
tidak disyaratkan untuk masuk SD. Namun kenyataannya banyak SD yang
melakukannya.
Berikut sebagian bunyi PP 17 tahun 2010:
Pasal 69 :
(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.
Pasal 70 :
Menurut para psikolog, membaca, menulis dan berhitung (calistung) ini tidak boleh diajarkan pada anak-anak usia TK. TK adalah tempat bermain dan tempat anak belajar bersosialisasi, calistung boleh diajarkan sepanjang hanya mengenalkan saja, itu juga harus dikenalkan sambil bermain. Saya ingat jaman saya TK dulu memang hanya diajarkan menggambar bulat, garis, segitiga dan menyanyi saja. Namun sekarang “kurikulum” TK sudah jauh berubah, dengan memasukkan calistung jadi bagian dari program belajarnya.(1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan.(3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan.
Saya juga memiliki pengalaman yang berbeda dengan ketiga anak saya soal calistung ini.
Anak pertama,
Saat TK A dia sudah
pandai membaca Iqra’, membaca koran, menulis walaupun di sekolah tidak
secara khusus mengajarkannya namun di rumah memang dikondisikan untuk
bisa. Lalu saat masuk TK B dia ikut sebuah kursus mental aritmatika dan
kemampuan berhitungnya tentu saja lebih baik dari anak seusianya. Saya
pikir agak memaksa sepertinya, tapi si anak tidak merasa bosan dan
tertekan dengan keadaannya ini.
Namun ketika masuk SD,
anak ini bingung ketika diberikan soal matematika berupa soal cerita.
Karena dia hanya terbiasa menghitung cepat (bahkan perkalian) alhasil
dia tidak mengerti mengenai konsep dan analisa. Misalnya ada soal
seperti ini : Ayah memiliki 5 buah permen, diberikan pada kakak 2 buah,
berapakah sisanya? Dia pasti kebingungan menjawab soal ini.
Anak kedua
Karena pengalaman
dengan anak pertama, ketika TK saya biarkan saja dia bermain tanpa
mengajarkannya membaca, dan berhitung secara khusus. Kalau dia bertanya
tentang huruf baru kami beritahu. Sama halnya dengan angka, dia susah
sekali mengenal dan menghafal angka sehingga sering terbalik-balik
menyebutkannya terutama angka belasan. Dan kami membiarkannya sambil
membimbing tanpa memaksanya untuk hafal.
Sampai akhirnya dia
mampu menghafal dan tidak salah lagi dalam menulis dan menyebut angka
waktu di televisi ada tayangan iklan kampanye (tahun 2004) yang
menyebutkan tanda gambar dengan angkanya. Tayangan televisi yang
berulang-ulang, rupanya membuat dia otomatis mengingatnya.
Anak Ketiga
Si bungsu bisa membaca
saat duduk di TK B. Calistung diajarkan di TK tempat dia sekolah. Tapi
dia hanya mau belajar di sekolah saja, dan tidak mau mengulangnya di
rumah. Sama seperti anak kedua, saya tidak memaksanya untuk belajar lagi
di rumah. Sejak bisa membaca, dia gemar sekali membaca headline surat
kabar langganan kami. Gemar juga bermain game dengan menu bahasa
Inggris, hobinya juga menghafalkan plat nomor kendaraan, misalnya B dari
Jakarta, L dari Surabaya, BM Pekanbaru hingga hampir semuanya dia tahu.
Berhitung juga bisa
dia lakukan sampai bersusun 3, diapun sepertinya senang jika bisa
menyelesaikan soal-soal yang kami anggap sulit untuk anak seumurannya.
Kami tidak pernah memaksakan, kalau dia mau dibuatkan soal ya kami
buatkan, tapi kalau bosan tidak kami teruskan. Pokoknya asal dia senang
dan enjoy saja.
Untuk Apa Tes Calistung?
Soal perlu dan
tidaknya tes calistung pada penerimaan siswa baru di SD memang masih
mengundang banyak pro dan kontra. Saya sendiri melihat tes calistung ini
sebenarnya perlu dilakukan, tapi tidak untuk menentukan diterima atau
tidaknya seorang siswa. Tes ini lebih kepada tes kemampuan, untuk
memudahkan guru mengelompokkannya hingga dapat diberikan latihan
calistung lebih intensif.
Ada hal yang
sebenarnya kontradiktif antara aturan UU no. 69 yang sudah disebutkan di
atas dengan kurikulum yang berlaku untuk kelas 1 SD. Lihat
saja isi buku-buku SD kelas 1 sekarang, saya pikir sangat tidak
memungkinkan jika anak yang tidak bisa membaca belajar menggunakan
buku-buku itu. Isi buku yang padat sangat tidak ramah untuk anak-anak yang belum bisa membaca.
Lain halnya waktu saya
kelas 1 SD dulu, pelajaran pada awal masuk adalah bacaan, “Ini Ibu
Budi, Ini Bapak Budi dan lain sebagainya”. Guru masih membimbing siswa
untuk mengejanya, tulisan dalam buku juga berupa tulisan yang jarang
dengan ukuran yang cukup besar. Jumlah mata pelajaran hanya 3 yaitu
bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. Bandingkan dengan pelajaran anak
kelas 1 SD sekarang. Saya pun masih ingat ada beberapa teman yang masih
belum lancar membaca sampai kelas 3.
Sedikit cerita tentang
anak yang belum bisa membaca yang kebetulan menjadi teman anak bungsu
saya saat duduk di kelas 1 sebuah SD Negeri di Pekanbaru. Karena dia
tidak bisa membaca, maka otomatis dia selalu tertinggal mengikuti
pelajaran. Guru sudah memberi tambahan untuk belajar membaca di luar jam
sekolah tapi sepertinya kurang berhasil. Alhasil pada akhir tahun
ajaran, saat kenaikan kelas anak tersebut tidak naik kelas.
Jadi menurut saya,
jika pemerintah melarang sekolah untuk mengadakan tes calistung untuk
syarat masuk SD, kurikulum SD terutama kelas 1 harus dirubah. Bukan
seperti kurikulum yang sangat padat seperti sekarang. Bayangkan saja
jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari anak-anak itu, ada sekitar 7
mata pelajaran belum lagi mata pelajaran muatan lokal. Seringkali saya
tidak tega melihat anak-anak itu menyandang tas yang beratnya mungkin
sama dengan tas saya saat SMP dulu.
Saya sih berharap pendidikan di Indonesia akan semakin baik dan berkualitas tanpa membuat anak-anak kehilangan waktu bermainnya.
Salam hangat..
sumber >> http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/22/tes-calistung-untuk-masuk-sd-perlu-nggak-sih/