*sharing untuk para orang tua dalam mendidik anak-anaknya*
Oleh
Mohammad Fauzil Adhim
”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan.”
(QS. Alam Nasyrah, 94: 5-6).
Cukuplah orangtua dikatakan menyengsarakan hidup anak apabila ia membiasakan
hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan mudah,
nyaris tanpa usaha berarti. Padahal pengalaman berusaha dan menyelesaikan
masalah akan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang. Sehingga semakin banyak
masalah yang mampu ia selesaikan, semakin tinggi nilai hidupnya.
Allah
Ta’ala membentangkan di hadapan manusia kesempatan untuk
berjuang. Agar terwujud kehidupan yang baik, kita harus memiliki kesediaan
untuk memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dengan keringat dan do’a.
Kesungguhan dalam berjuang itulah letak nilai seseorang. Bukan apa yang ia
capai. Sungguh, adakalanya barakah perjuangan seseorang tampak nyata di muka
bumi setelah kehidupan orang tersebut berlalu beberapa masa. Dan merupakan
tugas orangtua untuk memberi kesempatan kepada anak latihan berjuang, dari yang
kecil hingga mimpi-mimpi besar untuk sebuah visi di masa depan.
Sesungguhnya orangtua yang kejam adalah mereka yang tidak memberi kesempatan
kepada anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan di usia itu. Kejamlah
para ibu yang masih selalu menyuapi anaknya, setiap saat, padahal anak
seharusnya sudah bisa makan sendiri. Kejamlah seorang bapak yang selalu
melayani keinginan anak dan memenuhi permintaan mereka, padahal anak-anak itu
kelak harus memiliki kecakapan men
tasharrufkan hartanya. Kejamlah
orangtua yang hanya memberi uang dan fasilitas berlimpah kepada anaknya tanpa
memberi tanggung-jawab, kewajiban dan tantangan kepada mereka.
Mari kita belajar dari pohon apel. Sesungguhnya apel tidak berbuah kecuali
setelah daunnya rontok. Jika ia ditanam di negeri yang tidak mengenal musim
gugur, maka kitalah yang harus membantu agar apel tersebut berbuah. Kita
membantu mengurangi daun-daunnya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Perlu tantangan sebelum berbuah. Ada
tantangan yang secara alamiah dihadapi karena kondisi yang tidak terelakkan.
Tetapi jika kondisi yang diperlukan tidak tersedia, maka kitalah yang harus
merancang agar ada tantangan yang ”menggairahkan”.
Jika kita menilik sejarah, orang-orang besar adalah mereka yang memiliki
catatan panjang tentang keteguhan, ketegaran, kegigihan, kejujuran, integritas
yang tinggi, keberanian dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan setiap masalah
dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan rambu-rambu yang telah diberikan oleh
Allah
Ta’ala dan rasul-Nya
shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ditempa oleh tantangan yang datang berjenjang-jenjang. Awalnya ringan,
lalu datang lagi tantangan berikutnya yang lebih berat. Bahkan tidak sedikit
orang besar yang sejak lahir sudah dipenuhi kesulitan dan tantangan. Ia lahir
dalam kesulitan, besar dalam kesulitan dan kemudian tumbuh menjadi manusia yang
sanggup mengatasi berbagai kesulitan yang orang lain takut membayangkannya.
Mereka banyak menghadapi kesulitan, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan
jiwa untuk menghadapinya. Terkadang kekuatan itu mengalir dari hadirnya seorang
ibu yang senantiasa memberi dukungan ketika ia merasa tak sanggup lagi.
Di antara orang-orang sukses, banyak yang mengawali hidupnya dengan berbagai
kesulitan. Sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup menghadapinya, lalu
berikrar agar anaknya tak pernah menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi
ia lupa membedakan bahwa kepahitan hidup berbeda dengan tantangan. Alih-alih
tidak ingin anaknya sengsara, justru menghindarkan anak dari tantangan.
Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya dengan melimpahi mereka fasilitas dan
kemudahan. Padahal berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan, menjadikan anak
lemah secara mental, rendah daya juangnya, mudah frustrasi karena tak terbiasa
menghadapi kesulitan, dan tidak memiliki keterampilan memadai dalam
menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan terkena
afflueanza.
Apakah
affluenza itu? O, banyak sekali definisi yang bisa kita
temukan pada kata ini. Tetapi ada beberapa hal yang mempersamakan dari berbagai
definisi itu, yakni bahwa
affluenza merupakan kondisi ketika orang
menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa banyak uang yang dimiliki,
berapa mewah barang yang dikonsumsi, dan berapa lengkap perangkat yang dipunyai
beserta segala kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan oleh uang karena
orangtua sudah merdeka secara finansial, tetapi hati mereka hampa dan
kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli
kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka, semakin jauh pula
kebahagiaan itu menghindar dari mereka. Di saat itulah mereka semakin sibuk
mengejar.... dengan uang yang mereka punya!!! Padahal ini justru membuatnya
semakin tidak bahagia. Tetapi tak pilihan lain buat mereka, sebab yang mereka
ketahui, uang bisa membeli apa pun. Sejak kecil mereka dibesarkan dengan
kemudahan dan fasilitas, sehingga mereka justru menemukan banyak kesulitan
dalam hidup. Apa yang sederhana buat orang lain, bisa menjadi kesulitan besar
bagi dirinya.
Nah.
Jadi apa yang membuat anak-anak itu lemah di masa dewasanya? Mereka tak
berdaya karena otot mereka, otak mereka dan mental mereka tak pernah ditempa.
Mereka lemah karena terlalu banyak dimanja oleh fasilitas berlimpah. Mereka
menemui banyak kesulitan karena terbiasa hidup serba mudah. Sesungguhnya apa
yang berat bisa terasa ringan apabila kita memperoleh tempaan yang cukup untuk menghadapi
tantangan. Semakin banyak tantangan yang mampu kita hadapi, akan semakin
kuatlah kita dengan izin Allah
Ta’ala.
Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi tantangan bukan
berarti orangtua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat berbeda mempersulit
keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan. Kita memberi kesempatan
kepada anak untuk belajar dengan memberinya tanggung-jawab, memberi mereka
tugas untuk menyiapkan, mengatur dan menjaga apa yang mereka perlukan dalam
hidup sehari-hari, serta memberi mereka kesempatan bagi mereka untuk belajar
mengurusi diri mereka sendiri. Jadi bukan merampas hak mereka untuk belajar
mandiri.
Bayi usia 1,5 tahun misalnya, secara alamiah mereka akan terdorong untuk
belajar makan sendiri. Tentu saja karena belum memiliki cukup keterampilan,
hasilnya bisa belepotan dan mengotori lantai. Tetapi jika atas nama
kasih-sayang kita tidak memberinya kesempatan sehingga kita
selalu menyuapinya,
anak itu akan terhambat kemampuannya dan sulit tumbuh kemandiriannya.
Di usia-usia berikutnya ketika anak sudah saatnya untuk otonom, kita perlu
membimbing mereka untuk menyiapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai
besok dan menyiapkan perlengkapannya. Secara perlahan kita memperkenalkan
kepada mereka konsekuensi jika mengabaikan kewajiban. Pada saat yang sama kita
mulai perlu memberi mereka tantangan-tantangan. Bukan membebani.
Kita bisa menggugah mereka untuk memiliki tekad kuat bagi sebuah mimpi di
masa yang akan datang. Misalnya, kita gugah anak-anak itu untuk berkeinginan
kuat memberikan harta yang bermanfaat bagi yang memerlukan. Katakanlah sepatu
untuk orang miskin, atau sebuah ensiklopedi yang perlu mereka beli atau
keperluan mereka sendiri yang berharga. Kita beri mereka dorongan. Pada saat
yang sama kita pacu mereka untuk bisa mewujudkan tekad itu dengan kemampuannya
sendiri.
Melalui tantangan yang datang secara bertahap itu, anak-anak akan belajar
memecahkan kesulitan. Sesungguhnya Allah
Ta’ala letakkan kemudahan itu
menyertai kesulitan. Bukankah Allah
Ta’ala berfirman:
”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan.”
(QS. Alam
Nasyrah, 94: 5-6).
Muhammad Sulaiman ’Abdullah al-Asyqar menerangkan dalam tafsirnya yang
bertajuk
Zubdatut Tafsiir Min Fathil Qadiir bahwa maksud ayat ini
ialah, sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan lain. Ibnu Mas’ud
radhiyallahu
’anhu dengan status
marfu’ menerangkan, ”Seandainya kesulitan itu
berada di dalam batu, niscaya ia akan diikuti oleh kemudahan sehingga ia masuk
ke dalamnya kemudian mengeluarkannya dari batu tersebut. Suatu kesulitan itu
tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Allah berfirman:
”Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.”
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Banyak hal. Selain keharusan untuk
senantiasa optimis tatkala menghadapi kesulitan, kita juga perlu merenungkan
kembali apa yang telah kita berikan kepada anak-anak kita. Apakah kita
menyiapkan anak kita untuk menjadi pribadi yang kuat ataukah kita justru sedang
mempersulit hidupnya dengan membiasakan hidup mudah?
Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam keterampilan
hidup, berpikir, dan bersikap. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyebabkan
mereka lemah iman.
Na’udzubillahi min dzaalik.