Oleh: Amri Ikhsan *)
Pendidikan
itu adalah proses berfikir perlu keseriusan apalagi proses
pembelajaran. Semua langkah sebelum, dalam dan sesudah proses
pembelajaran yang dilakukan guru adalah proses serius, penuh konsentrasi
dan harus terukur. Apapun tugas guru, apapun beban kerja sudah dipikir
dengan serius oleh pemerintah melalui UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru/Dosen, PP nomor 74 tentang guru. Ini pekerjaan serius
Tapi,
masalah yang sering muncul dalam proses pembelajaran adalah kejenuhan,
kebosanan, ketegangan siswa yang terjebak dalam rutinitas yang dijalani
setiap hari. Ditambah lagi dengan ‘penampilan’ guru kadang kadang
‘membunuh’ kreatifitas siswa, yaitu dengan menjadi ‘penguasa tunggal’
dalam kelas. Siswa ‘wajib’ mengikuti perintah penguasa tunggal ini tanpa
kecuali.
Dilain
pihak, ini bisa dimaklumi, tiap hari siswa dipaksa untuk menguasai
materi pelajaran tanpa terukur berapa kuat kemampuan mengingat,
menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran. Setiap hari 4-5 materi,
mulai dari jam 07.15 sampai siang bahkan sore. Siswa biasanya merasa
sedikit fresh ketika hanya pada awal pelajaran, setelah itu
mereka akan kehilangan semangat belajar bukan karena tidak mau belajar
tapi karena proses pembelajaran yang monoton tanpa ketawa, tegang, penuh
tekanan.
Tidak
‘segarnya’ siswa dalam proses pembelajaran bisa jadi karena terlalu
serius guru dalam mengelola pembelajaran. Kelihatannya, guru begitu
antusias dalam menyampaikan materi pembelajaran seperti yang tertuang
dalam kurikulum dan buku pelajaran tanpa mempertimbangkan ‘perasaan’
siswa. Dalam hal ini, siswa ‘wajib’ duduk dalam kelas, memperhatikan
guru, tidak boleh ‘ribut’, tanpa memperhatikan apakah ia senang atau
tidak. Siswa tidak boleh keluar dari ‘aturan main’ yang ditetapkan oleh
guru itu sendiri.
“Kisah
nyata ini” diperparah oleh “persepsi” guru yang tidak peduli dan
sengaja membiarkan proses pembelajaran berjalan begitu saja, tanpa
inovasi, pokoknya guru sudah menyampaikan materi pembelajaran tanpa ada
gebrakan yang bisa ‘menghidupkan’ siswa untuk belajar. Sering sekali,
guru masuk kelas hanya untuk memberi tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja
Siswa) selama proses pembelajaran berlangsung. Guru juga dalam
berkomunikasi dengan siswa hanya diawali dengan ceramah dan diakhiri
dengan penugasan, begitu seterusnya. Tidak ada kata kata inspiratif,
ungkapan ungkapan yang merangsang siswa untuk tersenyum atau ketawa yang
mampu membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar.
Berhubungan
dengan LKS, ada 7 (tujuh) ayat dosa LKS: (1) keberadaan LKS menumbuhkan
kejenuhan siswa dalam belajar. Guru saja banyak yang tidak suka LKS
apalagi siswa; (2) memunculkan ketidak-kreatifan guru dalam proses
pembelajaran; (3) menghambat guru dan siswa untuk berinovasi; (4)
membuat ‘enak’ bagi guru tapi membuat jenuh bagi siswa; (5) mengiritkan
bicara guru. Padahal bicara guru merupakan interaksi dengan siswa yang
merupakan inti proses pembelajaran; (6) “memaksa” siswa untuk tidak
membeli buku padahal buku itulah gudang ilmu; (7) LKS membuat guru
‘sedikit tersenyum’ mungkin karena dapat ‘fee”.
Akibatnya,
pembelajaran di kelas bukan membuat siswa riang, kreatif dan segar.
Tetapi justru menjadi momok yang cukup menakutkan, menegangkan dan
menciptakan kelesuan dan kebosanan. “Penderitaan panjang siswa” dalam
interaksi proses pembelajaran sering terjadi setiap jam pelajaran
berlangsung. Kelas tidak lagi kondusif, siswa enggan masuk kelas, siswa
diam ‘seribu bahasa’, kelas lesu, tidak ada diskusi, tanya jawab yang
segar akibat komunikasi guru dan siswa yang tidak dibingkai dalam
suasana keceriaan.
Ada
7 (tujuh) ayat yang mengindikasikan peserta didik tidak diajak senyum
atau tertawa oleh guru dalam proses pembelajaran: (1) siswa tidak suka
mata pelajaran yang diajarkan oleh guru itu; (2) siswa tidak memiliki
buku mata pelajaran yang diajarkan guru itu; (3) siswa tidak pernah
mengulang materi yang diajarkan oleh guru itu; (4) siswa sering bolos;
(5) catatan siswa untuk pelajaran itu tidak teratur; (6) setelah tamat,
tidak akan mengambil jurusan yang diajarkan guru itu; (7) ‘siswa
kelihatan lebih tua dari siswa yang sering tertawa’.
Kelas
yang tidak bergairah secepatnya di-reorganisasi secara holistik dengan ;
(1) menggunakan bahasa yang ‘dekat dengan siswa’ walaupun itu bahasa
ibu siswa: ‘apo cerito’, apo lokak’ dll; (2) ‘mengobral’ pujian
verbal: “bagus”, baik”, semua tugas bernilai baik, dll.; (3)
menggunakan tes dan nilai otentik, atau menilai teman sendiri. (4)
merangsang rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi dengan memberikan
pertanyaan yang ‘kontroversial’, yaitu pertanyaan yang bisa dipastikan
siswa memiliki jawaban atas pertanyaan itu: “ mana yang muncul terlebih
dulu, telor atau ayam”. (5) membuat kegiatan edukatif lain, siswa
diminta membuat soal sendiri dan menjawab sendiri; (6) mengeksplor
pengalaman pribadi siswa, dengan meminta siswa menceritakan hal hal
pernah mereka lakukan dimasa lalu, dll dan dihubungkan materi pelajaran;
(7) meyelipkan humor edukatif, permainan, simulasi, bernyanyi, dll.
Dihipotesakan,
salah satu cara untuk menciptakan suasana segar dalam proses
pembelajaran adalah dengan menciptakan humor edukatif. Keberadaan humor
dapat mencairkan situasi yang kaku, tegang, memecahkan kejenuhan,
kebosanan, membuat siswa ceria, tersenyum, tertawa.
Peran
guru dalam memunculkan humor edukatif bukan ingin mengubah penampilan
guru menjadi pelawak atau badut. Guru tetaplah guru. Humor guru haruslah
cerdas, kreatif dan inovatif dalam rangka merangsang siswa untuk
berfikir segar dan kritis sambil tertawa atau tersenyum. Tawa senyum
siswa bukan sekedar ketawa lepas tetapi tawa sarat makna, tawa akademik,
tawa yang membuat siswa segar untuk melanjutkan materi belajar
berikutnya.
Humor
edukatif tersebut bisa disampaikan secara langsung oleh guru, misalnya
dengan menanyangkan media ”film/slide” lucu yang sudah banyak tersedia
di internet melalui LCD, memberikan tebakan lucu, gambar lucu, dll.
Humor
tidak sekedar mengajak kita berhenti cuma pada ketawa. Humor yang
bermutu, sesudah terbahak-bahak yang sangat melegakan jiwa, nalar kita
berkembang menuju pemahaman lebih dalam lagi (Mohammad Sobary, 2000).
Humor yang ideal adalah membuat siswa terpancing untuk tersenyum dan
tertawa dan ini harus dimanfaatkan guru sebagai satu titik kembalinya
kesegaran siswa untuk melanjutkan proses pembelajaran dengan lebih
semangat.
Humor
tidak sama dengan tertawa murahan, ia lebih kaya dan lebih menuntut
dibandingkan bercanda (Ira Shor, 2001). Menurut Adrew How (2005), humor
yang sehat mampu mengurangi stress, memberi perspektif baru dan perasaan
lebih baik. Humor yang negatif bisa menyinggung perasaaan orang lain,
meningkatkan ketegangan dan perasaan lebih buruk.
Secara
konseptual, membuat siswa tersenyum dan tertawa dalam proses
pembelajaran tidak boleh terhenti pada terbangunnya kelas yang
menyenangkan, penuh keakraban, segar, dan penuh toleransi serta mampu
membangkitkan kembali motivasi siswa, tapi sebaiknya humor edukatif juga
menciptakan kegairahan kembali (remotivasi) siswa untuk belajar lebih
semangat dan rajin. Kelas yang penuh keterbukaan, penuh dengan senyum
dan ketawa edukatif, akrab, dan gairah, segar bisa dipastikan memberi
peluang bagi siswanya untuk lebih kreatif dibanding kelas yang kurang
bergairah, tegang, lesu dan tertekan.
Banyak
cara yang bisa dieksplor dalam pembelajaran untuk memancing siswa
tersenyum dan tertawa: membuat kalimat yang tidak biasa, mengkontaskan
kenyataan, memberi contoh yang dekat dengan siswa, menggunakan majas
majas kontradiktif, dll. Bentuknya bisa berupa cerita humor, anekdot,
sindiran, dan aksi dalam pembelajaran, atau dengan pantun jenaka atau
pengalaman hidup siswa. Guru secara kreatif dapat menciptakan humor
sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan pembelajaran agar lebih
kontekstual.
Ada
7 (tujuh) ayat yang bisa dilakukan guru dalam memunculkan humor
akademik: (1) teka teki lucu, misalnya (a) sebuah pohon kelapa
dibelakang rumah disambar petir, kenapa orang orang menebang pohon
kelapa itu?; (b) semakin dibuang isinya, semakin besar?, dll; (2)
memampilkan gambar gambar lucu; (3) menampilkan video video lucu. Ini
bisa di unduh di situs ‘youtube’; (4) tongue twister; (5) anekdot; (6) bermain angka; (7) membalikkan fakta, dll.
Semakin
sering siswa tersenyum dan tertawa tentu saja membuat proses
pembelajaran berlangsung dengan segar tanpa tekanan sekaligus membuat
siswa kelihatan ‘lebih muda’ dan usia mereka dan mestinya akan
melenjitkan prestasi siswa. Coba saja!
sumber http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/21/ketika-proses-pembelajaran-kehilangan-humor-517906.html