Friday, March 21, 2014

::Agar Anak Tak menjadi "Gadget Freak"

Membiarkan anak prasekolah sibuk dengan gadget-nya tanpa pembatasan serta pengawasan, sama artinya kita membuka peluang si kecil jadi gadget freak. Apa artinya? Secara sederhana dapat dikatakan sudah kebablasan.

Anak dianggap sudah kebablasan bermain gadget jika sehari bermain dengan gadget lebih dari dua jam. Lalu kalau gadget-nya diambil si anak akan marah sekali, bahkan tantrum.


Pembatasan penggunaan gadget bukan saja akan menghindari si prasekolah kebablasan tapi ada banyak manfaat lain yang pada usianya jauh lebih penting. Yaitu memberi kesempatan si kecil mengembangkan aspek-aspek penting dalam hidupnya.

- Yang pertama adalah aspek sosial emosionalnya. Hal ini akan terbentuk bila terjadi interaksi anak dengan orang lain. Dari interaksi ini anak akan belajar budi pekerti yang merupakan fondasi dasar bagi pembentukan karakter anak.

Di usia balita yang diperlukan anak adalah kasih sayang dan attachment yang tinggi dari orangtuanya. Bagaimana dan seperti apa perlakuan orangtua pada anaknya di suia ini akan menentukan seperti apa si anak dewasanya kelak. Contoh lain, berselisih paham dengan kakak juga merupakan belajar berinteraksi secara sosial. Bagaimana dirinya menyikapi peristiwa tersebut dan juga bagaimana sikap orangtua menghadapi permasalahan tersebut.

Anak juga akan belajar memahami orang lain dan rasa empati anak menjadi lebih baik. Kesempatan anak untuk mendapatkan kesuksesan juga menjadi lebih besar karena kepiawaiannya menjalin interaksi dengan orang lain.

- Aspek kedua adalah intelektual. Di usia prasekolah, yang dimaksud intelektual belumlah yang berhubungan dengan akademik. Namun kemampuan kognitif, dimana semakin banyak anak melihat, merasakan langsung, mencoba serta meraba atau mencium, semakin banyak memori yang terserap di otaknya. Ini semua hanya bisa didapat dengan pengalaman langsung dengan berjalan-jalan atau diajak berkeliling mengamati lingkungan.

- Ketiga, yaitu aspek fisik. Aspek fisik akan berkembang secara baik jika si prasekolah tidak hanya duduk diam. Orangtua bisa mendorong anak melakukan aktivitas fisik yang dapat menstimulasi keterampilan motorik halus dan kasar seperti bermain di dalam rumah (meronce, bermain balok, menggunting kertas, bermain kubus), bermain di luar ruang (bersepeda, bermain bola, melompat, dan sebagainya), serta bersosialisasi dengan teman-teman.

- Lalu keempat, aspek spiritual dimana orangtua bisa menanamkan pada anak hal-hal yang terkait dengan agama dan spiritualitas. Misalnya mengajak anak beribadah bersama, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, mensyukuri ciptaan Tuhan, mengembangkan sikap empati, dan sebagainya.

sumber  sila diklik di sini

Wednesday, January 29, 2014

KYOIKU MAMA (Education Mama)

ditulis oleh Daoed Joesoef*



Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang menjadi raksasa ekonomi di paro kedua abad XX adalah etika kerja dari karyawan yang stereotipe. Orang-orang yang biasa berbaju biru tua inilah yang merupakan mesin penggerak salah satu sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern. Beginilah bunyi cerita yang telah melegenda, sebelum datang kesaksian dari Tony Dickensheets. Dia adalah seorang pendidik Amerika di Charlottesville, Virginia.

Peran Ibu
Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.

Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian keturunan mampu memasuki sekolah-sekolah bermutu. Maka, di balik karyawan Jepang yang beretika kerja terpuji itu ada perempuan umumnya, kyoiku mama atau education mama khususnya. Mereka inilah yang merupakan pilar-pilar kukuh yang menyangga para karyawan itu. Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu bangsa.

Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan fondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsanya. Ketika saya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan diundang untuk meninjau berbagai lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi negeri ini, saya kagum melihat kebersihan ruang laboratorium di sekolah umum dan bengkel praktik di sekolah kejuruan teknik. Semua murid membuka sepatu sebelum memasuki ruangan dan menggantinya dengan sandal jepit yang sudah tersedia di rak dekat pintu, jadi lantai tetap bersih bagai kamar tidur. Ketika saya tanyakan kepada guru yang mengajar di situ bagaimana cara mendisiplinkan murid hingga bisa tertib, dia menjawab, Yang mulia, saya hampir tidak berbuat apa-apa dalam hal ini. Ibu-ibu merekalah yang telah mengajar anak-anak berbuat begitu.

Saya teringat sebuah kebiasaan di rumah tradisional Jepang.  Alih-alih menyapu debu di lantai, mereka masuk rumah tanpa bersepatu/bersandal agar debu tidak masuk rumah. Bagi mereka, kebersihan adalah suatu kebajikan. Di toko buku, saya melihat seorang ibu sedang memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD. Ketika saya sapa, dia menyadari saya orang asing, dia
tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya.  Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.

Perempuan dan Pendidikan

Lebih daripada di negeri-negeri lain, kelihatannya sistem pendidikan dan kebudayaan Jepang mengandalkan sepenuhnya peran perempuan dalam membesarkan anak. Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan a purely Japanese phenomenon. Yang memantapkan itu adalah kesadaran para ibu Jepang sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu, dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun pekerja. Banyak perempuan Jepang menganggap anak sebagai ikigai mereka, rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jika di Barat ada anggapan perempuan berpendidikan akademis yang melulu tinggal di rumah membesarkan anak sebagai wasting her talents, di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya.  Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat demi  penyempurnaan pendidikannya.

Membantu Ekonomi Bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial. Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain
atribut dari sistem nilai Jepang.

Menurut Tony Dickensheets, sejak dini para pelajar Jepang menghabiskan lebih banyak waktu untuk kegiatan sekolah daripada pelajar-pelajar Amerika. Lama rata-rata tahun sekolah anak Jepang adalah 243 hari, sedangkan anak Amerika 178 hari. Selain menambah kira-kira dua bulan dalam setahun untuk sekolah, sebagian besar waktu libur anak- anak Jepang diisi dengan kegiatan bersama teman sekelas dan guru.  Bila pekerja/karyawan berdedikasi pada perusahaan, anak-anak berdedikasi pada sekolah. Mengingat tujuan sekolah meliputi persiapan untuk hidup bekerja, anak didik Jepang bisa disebut pekerja/karyawan yang sedang dalam proses training.
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak. Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang. Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.

* Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku Emak” (buku ini lumayan bagus, layak dibaca dan dijadikan kado).

Friday, January 3, 2014

Berkumpul Keluarga di Surga


Sebagai hamba-Nya yang telah menikmati keindahan Islam, orang-orang beriman diberikan hiburan tentang kematian. Walaupun kenikmatan dunia hilang, sungguh kehidupan abadi telah menanti, dan kita antri menuju kesana. Insya Allah. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk menghindari kematian, mencari segala obat anti-penuaan, pil-pil berkhasiat panjang umur misalnya, naudzubillahi minzaliik, Orang beriman sangat dipengaruhi oleh pesan Baginda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni kematian.” (HR. Tirmidzi, No. 2229)

Satu keluarga itu bernyanyi riang gembira di musim semi tahun lalu, masuk ke mobil mereka, kemudian tampak anak-anak menikmati beberapa snacks, dan orang tuanya mengobrol mesra. Tak sampai semenit kemudian saat mereka memasuki jalan raya, “gedubraak!”, tabrakan maut terjadi, entah kenapa mobil itu menabrak tiang besar lalu ‘menyenggol’ bus panjang yang sedang melaju dari arah berlawanan. Pemandangan itu sangat meyeramkan, kami segera berlalu dari riuhnya situasi jalan raya tersebut, seraya menyebut nama-Mu, ya Allah…

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… tak ada suami yang mendampingi, juga anak dan keluarga lainnya, persis seperti nasehat ustadzahku dahulu, “Bahwa tak ada tempat kita bergantung setiap waktu, kecuali Allah SWT. Di kala maut menghampiri, kita harus menghadapinya sendirian, tiada mama papa, tiada suami, anak-anak, saudara, siapa pun tak dapat menolong, kita hanya ditemani oleh belaian-NYA.

Cuma Dia yang dapat memudahkan jalan menuju kesana, begitu pun saat memasuki alam kubur, hanya amalan di dunia yang kita bawa.”

Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR. Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan)

Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Atik bahwa nabi saw bersabda,”Mati syahid itu ada tujuh macam—selain perang di jalan Allah—yaitu syahid karena penyakit tho’un, syahid karena tenggelam, syahid karena lumpuh, syahid karena sakit perut, syahid karena terbakar, orang yang mati karena tertimbun reruntuhan maka ia syahid, perempuan yang mati karena melahirkan maka ia syahid.”

Dalam sebuah hadist dinyatakan : “Seandainya dunia itu di mata Allah sebanding harganya dengan sayap nyamuk, pasti Dia tidak memberi orang kafir setetes air pun dari dunia itu”. (HR.at-Tirmidzi).

Orang beriman kalaupun turut berkompetisi atau berjuang di dunia hanyalah sebatas mengikuti secara disiplin aturan main yang telah Allah subhaanahu wa ta’aala gariskan. Mereka tidak mengharuskan apalagi memaksakan hasil. Sehingga bukanlah menang atau kalah yang menjadi isyu sentral, melainkan konsistensi (baca: istiqomah) di atas jalan Allah. Berbeda dengan orang-orang kafir dan para hamba dunia lainnya. Mereka tidak pernah peduli dengan aturan main Allah subhaanahu wa ta’aala. Yang penting harus menang. Prinsip hidup mereka adalah It’s now or never (Kalau tidak sekarang, kapan lagi…?!). Sedangkan prinsip hidup orang beriman adalah If it’s not now then it will be in the Hereafter

Banyak orang yang sangat ambisius mencapai kesuksesan duniawi, namun alih-alih berambisi mereka justru tak memikirkan bagaimana caranya menggapai kesuksesan ukhrawi. Mungkin mereka lupa bahwa kehidupan dunia hanyalah sekejap semata dan kehidupan yang hakiki adalah di akherat nanti.

Padahal bila kita ingat, kita akan berada di padang Mahsyar kelak selama satu hari dalam perhitungan akherat yang lamanya sama dengan 50.000 tahun perhitungan waktu dunia. Maka lamanya kehidupan kita di dunia ini menjadi tak ada artinya apa-apa dibanding lamanya kehidupan akherat bukan?

Maka di kehidupan kita yang sekejap ini manfaatkanlah sebaik mungkin agar kelak kita mendapatkan hasil yang memuaskan. Sudah selayaknya bila setiap nafas yang kita hembuskan adalah nafas ketakwaaan. Setiap jalan yang kita tuju adalah jalan menuju ketaatan kepada Allah swt.

Bayangkanlah kegembiraan kita kelak di yaumil hisab, setelah berpayah-payah melalui proses hisab yang jauh-jauh lebih menegangkan dibandingkan dengan sidang skripsi, ketika kita berhasil menerima catatan amal kita dari tangan kanan, yang artinya kita termasuk golongan orang-orang yang selamat dan berhak mendapatkan surga.

Betapa bahagianya kita, apalagi bila keluarga kita, orangtua kita (yang sama-sama telah menerima catatan dari tangan kanan) telah menunggu kita untuk bersama-sama bergabung dalam kebahagiaan.

“Ayah…Ibu… aku menyusulmu….”

Duhai indahnya…

Subhanallah, inilah kemenangan yang agung itu yang semoga kita semua kelak bisa memperolehnya. Namun ingat bahwa kemenangan agung itu hanya bisa dicapai dengan sebuah kerja keras yang nyata.

“Wahai Manusia…sesungguhnya kamu sudah berkerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.Maka adapun orang yang catatanya diberikan dari sebelah kanan, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dan dia akan kembali kepada kelurganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira “ (QS Al-Insyiqaq ayat 6-9.)
sumber  silakan klik di sini