Membiarkan anak prasekolah sibuk dengan gadget-nya tanpa pembatasan serta pengawasan, sama artinya kita membuka peluang si kecil jadi gadget freak. Apa artinya? Secara sederhana dapat dikatakan sudah kebablasan.
Anak dianggap sudah kebablasan bermain gadget jika sehari bermain dengan gadget lebih dari dua jam. Lalu kalau gadget-nya diambil si anak akan marah sekali, bahkan tantrum.
Pembatasan penggunaan gadget
bukan saja akan menghindari si prasekolah kebablasan tapi ada banyak
manfaat lain yang pada usianya jauh lebih penting. Yaitu memberi
kesempatan si kecil mengembangkan aspek-aspek penting dalam hidupnya.
-
Yang pertama adalah aspek sosial emosionalnya. Hal ini akan terbentuk
bila terjadi interaksi anak dengan orang lain. Dari interaksi ini anak
akan belajar budi pekerti yang merupakan fondasi dasar bagi pembentukan
karakter anak.
Di usia balita yang diperlukan anak adalah kasih sayang dan attachment
yang tinggi dari orangtuanya. Bagaimana dan seperti apa perlakuan
orangtua pada anaknya di suia ini akan menentukan seperti apa si anak
dewasanya kelak. Contoh lain, berselisih paham dengan kakak juga
merupakan belajar berinteraksi secara sosial. Bagaimana dirinya
menyikapi peristiwa tersebut dan juga bagaimana sikap orangtua
menghadapi permasalahan tersebut.
Anak juga akan belajar
memahami orang lain dan rasa empati anak menjadi lebih baik. Kesempatan
anak untuk mendapatkan kesuksesan juga menjadi lebih besar karena
kepiawaiannya menjalin interaksi dengan orang lain.
- Aspek kedua
adalah intelektual. Di usia prasekolah, yang dimaksud intelektual
belumlah yang berhubungan dengan akademik. Namun kemampuan kognitif,
dimana semakin banyak anak melihat, merasakan langsung, mencoba serta
meraba atau mencium, semakin banyak memori yang terserap di otaknya. Ini
semua hanya bisa didapat dengan pengalaman langsung dengan
berjalan-jalan atau diajak berkeliling mengamati lingkungan.
-
Ketiga, yaitu aspek fisik. Aspek fisik akan berkembang secara baik jika
si prasekolah tidak hanya duduk diam. Orangtua bisa mendorong anak
melakukan aktivitas fisik yang dapat menstimulasi keterampilan motorik
halus dan kasar seperti bermain di dalam rumah (meronce, bermain balok,
menggunting kertas, bermain kubus), bermain di luar ruang (bersepeda,
bermain bola, melompat, dan sebagainya), serta bersosialisasi dengan
teman-teman.
- Lalu keempat, aspek spiritual dimana orangtua bisa
menanamkan pada anak hal-hal yang terkait dengan agama dan
spiritualitas. Misalnya mengajak anak beribadah bersama, menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan, mensyukuri ciptaan Tuhan, mengembangkan sikap
empati, dan sebagainya.
sumber sila diklik di sini
Friday, March 21, 2014
Wednesday, January 29, 2014
KYOIKU MAMA (Education Mama)
ditulis oleh Daoed Joesoef*
Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang menjadi raksasa ekonomi di paro kedua
abad XX adalah etika kerja dari
karyawan yang stereotipe. Orang-orang yang
biasa berbaju biru tua inilah yang merupakan mesin penggerak salah satu sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern. Beginilah bunyi
cerita yang telah melegenda, sebelum
datang kesaksian dari Tony Dickensheets.
Dia adalah seorang pendidik Amerika di Charlottesville,
Virginia.
Peran Ibu
Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.
Peran Ibu
Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.
Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian
keturunan mampu memasuki
sekolah-sekolah bermutu. Maka, di balik karyawan Jepang yang beretika kerja terpuji itu ada perempuan umumnya, kyoiku mama atau
education mama khususnya.
Mereka inilah yang merupakan pilar-pilar kukuh
yang menyangga para karyawan itu. Merekalah yang membantu perkembangan
ekonomi yang luar biasa dari
bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan
pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas
sosial, yaitu dua hal yang sangat
krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu
bangsa.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan
fondasi pendidikan dan sosial yang
begitu vital bagi kinerja kebangkitan
ekonomi bangsanya. Ketika saya sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan diundang untuk meninjau
berbagai lembaga pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi negeri ini,
saya kagum melihat kebersihan ruang laboratorium di sekolah umum dan
bengkel praktik di sekolah
kejuruan teknik. Semua murid
membuka sepatu sebelum memasuki ruangan dan
menggantinya dengan sandal jepit yang
sudah tersedia di rak dekat pintu,
jadi lantai tetap bersih bagai kamar tidur.
Ketika saya tanyakan kepada guru yang mengajar di situ bagaimana cara mendisiplinkan murid
hingga bisa tertib, dia menjawab, “Yang mulia, saya hampir tidak berbuat apa-apa dalam hal ini. Ibu-ibu merekalah yang telah mengajar anak-anak berbuat begitu.”
Saya teringat sebuah kebiasaan di rumah tradisional Jepang. Alih-alih menyapu debu di
lantai, mereka masuk rumah tanpa
bersepatu/bersandal agar debu tidak masuk
rumah. Bagi mereka, kebersihan adalah suatu kebajikan. Di toko buku, saya melihat seorang ibu
sedang memilih-milih buku untuk
anaknya, seorang murid SD. Ketika
saya sapa, dia menyadari saya orang asing, dia
tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.
Perempuan dan Pendidikan
tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.
Perempuan dan Pendidikan
Lebih daripada di negeri-negeri lain, kelihatannya sistem
pendidikan dan kebudayaan Jepang mengandalkan sepenuhnya peran perempuan
dalam membesarkan anak. Karena
itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku
manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa.
Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian
dari mindset Jepang dan menjadi kunci
pendidikan dari generasi ke generasi.
Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan
perempuan Jepang kian dimantapkan selaku
kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan a purely
Japanese phenomenon. Yang memantapkan itu adalah kesadaran
para ibu Jepang sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu, dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan
anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun pekerja.
Banyak perempuan Jepang menganggap
anak sebagai ikigai mereka,
rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Jika di Barat ada anggapan
perempuan berpendidikan akademis
yang melulu tinggal di rumah membesarkan
anak sebagai wasting her talents,
di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya
berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup
untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah,
biasanya bekerja part time agar
bisa berada di rumah saat anak-anak pulang
sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan,
tetapi lebih-lebih membantu mereka
menyelesaikan dan menguasai
PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat
demi penyempurnaan pendidikannya.
Membantu Ekonomi Bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial. Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain
atribut dari sistem nilai Jepang.
Membantu Ekonomi Bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial. Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain
atribut dari sistem nilai Jepang.
Menurut Tony Dickensheets, sejak dini para pelajar Jepang menghabiskan lebih banyak waktu
untuk kegiatan sekolah daripada pelajar-pelajar Amerika. Lama rata-rata tahun sekolah anak Jepang
adalah 243 hari, sedangkan anak Amerika 178 hari. Selain menambah kira-kira dua
bulan dalam setahun untuk sekolah, sebagian
besar waktu libur anak- anak Jepang diisi
dengan kegiatan bersama teman sekelas dan guru. Bila pekerja/karyawan
berdedikasi pada perusahaan, anak-anak
berdedikasi pada sekolah. Mengingat tujuan
sekolah meliputi persiapan untuk hidup bekerja, anak didik Jepang bisa disebut
pekerja/karyawan yang sedang dalam
proses training.
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak. Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang. Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.
* Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku Emak (buku ini lumayan bagus, layak dibaca dan dijadikan kado).
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak. Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang. Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.
* Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku Emak (buku ini lumayan bagus, layak dibaca dan dijadikan kado).
sumber sila diklik di sini
Friday, January 3, 2014
Berkumpul Keluarga di Surga
Sebagai
hamba-Nya yang telah menikmati keindahan Islam, orang-orang beriman
diberikan hiburan tentang kematian. Walaupun kenikmatan dunia hilang,
sungguh kehidupan abadi telah menanti, dan kita antri menuju kesana.
Insya Allah. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk
menghindari kematian, mencari segala obat anti-penuaan, pil-pil
berkhasiat panjang umur misalnya, naudzubillahi minzaliik, Orang beriman
sangat dipengaruhi oleh pesan Baginda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
yang bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni
kematian.” (HR. Tirmidzi, No. 2229)
Satu keluarga itu
bernyanyi riang gembira di musim semi tahun lalu, masuk ke mobil mereka,
kemudian tampak anak-anak menikmati beberapa snacks, dan orang tuanya
mengobrol mesra. Tak sampai semenit kemudian saat mereka memasuki jalan
raya, “gedubraak!”, tabrakan maut terjadi, entah kenapa mobil itu
menabrak tiang besar lalu ‘menyenggol’ bus panjang yang sedang melaju
dari arah berlawanan. Pemandangan itu sangat meyeramkan, kami segera
berlalu dari riuhnya situasi jalan raya tersebut, seraya menyebut
nama-Mu, ya Allah…
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… tak ada
suami yang mendampingi, juga anak dan keluarga lainnya, persis seperti
nasehat ustadzahku dahulu, “Bahwa tak ada tempat kita bergantung setiap
waktu, kecuali Allah SWT. Di kala maut menghampiri, kita harus
menghadapinya sendirian, tiada mama papa, tiada suami, anak-anak,
saudara, siapa pun tak dapat menolong, kita hanya ditemani oleh
belaian-NYA.
Cuma Dia yang dapat memudahkan jalan menuju kesana, begitu pun saat memasuki alam kubur, hanya amalan di dunia yang kita bawa.”
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi
orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain
disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR. Ibnu Abi
ad Dunya dengan sanad hasan)
Didalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Nasai dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Atik
bahwa nabi saw bersabda,”Mati syahid itu ada tujuh macam—selain perang
di jalan Allah—yaitu syahid karena penyakit tho’un, syahid karena
tenggelam, syahid karena lumpuh, syahid karena sakit perut, syahid
karena terbakar, orang yang mati karena tertimbun reruntuhan maka ia
syahid, perempuan yang mati karena melahirkan maka ia syahid.”
Dalam sebuah hadist dinyatakan : “Seandainya dunia itu di mata Allah
sebanding harganya dengan sayap nyamuk, pasti Dia tidak memberi orang
kafir setetes air pun dari dunia itu”. (HR.at-Tirmidzi).
Orang
beriman kalaupun turut berkompetisi atau berjuang di dunia hanyalah
sebatas mengikuti secara disiplin aturan main yang telah Allah
subhaanahu wa ta’aala gariskan. Mereka tidak mengharuskan apalagi
memaksakan hasil. Sehingga bukanlah menang atau kalah yang menjadi isyu
sentral, melainkan konsistensi (baca: istiqomah) di atas jalan Allah.
Berbeda dengan orang-orang kafir dan para hamba dunia lainnya. Mereka
tidak pernah peduli dengan aturan main Allah subhaanahu wa ta’aala. Yang
penting harus menang. Prinsip hidup mereka adalah It’s now or never
(Kalau tidak sekarang, kapan lagi…?!). Sedangkan prinsip hidup orang
beriman adalah If it’s not now then it will be in the Hereafter
Banyak orang yang sangat ambisius mencapai kesuksesan duniawi, namun
alih-alih berambisi mereka justru tak memikirkan bagaimana caranya
menggapai kesuksesan ukhrawi. Mungkin mereka lupa bahwa kehidupan dunia
hanyalah sekejap semata dan kehidupan yang hakiki adalah di akherat
nanti.
Padahal bila kita ingat, kita akan berada di padang
Mahsyar kelak selama satu hari dalam perhitungan akherat yang lamanya
sama dengan 50.000 tahun perhitungan waktu dunia. Maka lamanya kehidupan
kita di dunia ini menjadi tak ada artinya apa-apa dibanding lamanya
kehidupan akherat bukan?
Maka di kehidupan kita yang sekejap
ini manfaatkanlah sebaik mungkin agar kelak kita mendapatkan hasil yang
memuaskan. Sudah selayaknya bila setiap nafas yang kita hembuskan adalah
nafas ketakwaaan. Setiap jalan yang kita tuju adalah jalan menuju
ketaatan kepada Allah swt.
Bayangkanlah kegembiraan kita kelak
di yaumil hisab, setelah berpayah-payah melalui proses hisab yang
jauh-jauh lebih menegangkan dibandingkan dengan sidang skripsi, ketika
kita berhasil menerima catatan amal kita dari tangan kanan, yang artinya
kita termasuk golongan orang-orang yang selamat dan berhak mendapatkan
surga.
Betapa bahagianya kita, apalagi bila keluarga kita,
orangtua kita (yang sama-sama telah menerima catatan dari tangan kanan)
telah menunggu kita untuk bersama-sama bergabung dalam kebahagiaan.
“Ayah…Ibu… aku menyusulmu….”
Duhai indahnya…
Subhanallah, inilah kemenangan yang agung itu yang semoga kita semua
kelak bisa memperolehnya. Namun ingat bahwa kemenangan agung itu hanya
bisa dicapai dengan sebuah kerja keras yang nyata.
“Wahai
Manusia…sesungguhnya kamu sudah berkerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu
akan menemui-Nya.Maka adapun orang yang catatanya diberikan dari
sebelah kanan, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.
Dan dia akan kembali kepada kelurganya (yang sama-sama beriman) dengan
gembira “ (QS Al-Insyiqaq ayat 6-9.)
sumber silakan klik di sini
Subscribe to:
Posts (Atom)