ditulis oleh Roni Nuryusmansyah
Meski perceraian itu tak selamanya dilarang atau dianggap buruk, tapi
efek buruknya selalu ada. Bukan hanya satu efek, tapi bahkan berbagai
efek yang bisa jadi terakumulasi sehingga menjadi derita yang tak
tertanggungkan.
Maka, tak ada kata yang lebih indah dari anjuran untuk berupaya mencegah terjadinya perceraian. Bila
piring dan gelaspun selalu dijaga agar tidak pecah, maka rumah tangga
tentu harus juga dijaga agar tidak menyerpih bercerai-berai.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kebajikan dan ketakwaan apa saja yang kaum kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (QS. An-Nisa’: 128)
Seberapa banyakkah kebaikan yang telah kita lakukan selama kita hidup berumah tangga?
Kesan terbaik apa yang bisa kita banggakan saat kita harus
meninggalkan panggung kehidupan indah bersama istri kita yang tercinta?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 129)
Adakah jaminan bahwa kita telah berlaku baik terhadap pasangan kita
dalam kehidupan berumah tangga? Bila perceraian itu terjadi, sebagai
seorang suami, sudahkah kita berani bertanggung jawab telah menjadi
suami yang baik?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah kalian lupakan keutamaan di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Melihat atas apa yang kalian kerjakan…” (QS. Al-Baqarah: 237)
Bila tenun perkawinan telah terurai benang-benangnya, masihkah ada
pengakuan dalam diri kita terhadap kebaikan dan kelebihan mantan
pasangan kita? Atau kita akan menjadi mantan suami yang hatinya terbalut
seribu satu dendam?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa’: 128)
Sudahkah kita melakukan segala cara untuk mencapai perdamaian dengan pasangan kita?
Ataukah perceraian itu mengalir sedemikian cepatnya sampai kita
tidak mengetahui bahwa hidup bersama masih jauh lebih indah daripada
perpisahan selamanya?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kalau kalian harus
menceraikan istri-istri kalian, lalu datang masa iddah, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
ma’ruf pula.” (QS. Al-Baqarah: 231)
Kalaupun perceraian harus terjadi, seyogyanya tindakan monumental itu
dilakukan secara baik, menurut adab, etika, dan petunjuk Islam. Bila
masih ada kesempatan untuk kembali, dan hal itu terlihat lebih baik,
maka kembalilah dengan cara yang baik pula.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang terbaik
di antaramu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya, dan aku
adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri.” (HR. Tirmidzi)
Saat jalan menuju perceraian kita kuakkan, maka predikat sebagai yang
terbaik tetap harus kita raih. Sebagai suami misalnya, hanya dianggap
yang terbaik bia ia mempergauli istrinya dengan cara terbaik. Kalaupun
terpaksa menceraikannya, tetap harus dengan cara yang terbaik. Coba
pikirkan juga nasib yang akan dijalani oleh sang istri bila perceraian
itu terjadi, seperti halnya kita memikirkan nasib yang akan kita alami
kelak.
Dalam hadis Umar, diceritakan, “Kami dari kalangan Quraisy, biasa
mengalahkan wanita-wanita kami. Ketika kami datang ke kota Al-Madinah
berjumpa dengan kaum Al-Anshar, tiba-tiba kami dapati mereka adalah kaum
yang dikuasai oleh kaum wanita. Hampir-hampir saja wanita-wanita kami
meniru kebiasaan wanita-wanita Al-Anshar. Aku pernah membentak istriku,
namun ia melawan. Aku menyalahkan perbuatannya yang melawan diriku.
‘Kenapa engkau menyalahkan diriku yang melawan kepadamu?
Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabipun melawan beliau. Sampai ada
salah satu istri beliau yang meninggalkan beliau sehari semalam,’ jawab
istriku.
Pernyataan istriku itu sungguh membuat diriku terkejut. ‘Sungguh celaka wanita yang melakukan perbuatan seperti itu,’ ujarku.” (HR. Bukhari)
Cobalah perhatikan. Ternyata kejadian itupun pernah terjadi dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
rumah tangga para Sahabat beliau. Maka cobalah untuk bersabar untuk
mempertahankan mahligai rumah tangga. Meskipun sebagai suami, kita
mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya. Bisa jadi sebagian dari hak
kita hilang, tapi apakah sepadan bila dengan gantinya kita harus
membayarnya dengan perceraian? Dan apakah dengan perceraian itu hak kitapun bisa kita peroleh?
Selain itu, kaum wanita juga patut merenungi kembali bayangan hitam
perceraian dengan melongok lembaran sejarah kehidupan Nabi kita,
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu hari Abu Bakar meminta izin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tiba-tiba ia mendengar Aisyah bersuara dengan keras. Ketika ia sudah
masuk, ia segera menemui Aisyah untuk menamparnya, “Sungguh aku
menyaksikan sendiri engkau berteriak keras melebihi suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Namun Nabi justru mencegahnya. Abu Bakarpun keluar dalam keadaan penuh amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana sikapmu sekarang setelah engaku melihatku menyelamatkan dirimu dari kemarahan laki-laki (ayahmu) tadi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan teguran
yang sungguh menyentuh hati Aisyah. Beliau tidak membalas pekikan Aisyah
dengan bentakan yang lebih keras, atau teguran dengan suara
menyentak-nyentak. Beliau hanya diam, bahkan saat Abu Bakar, yang
notabene adalah ayah dari Aisyah sendiri, sudah begitu murkan terhadap
putrinya sendiri. Wajar, karena yang dihadapi Aisyah adalah Rasulullah.
Tapi, lihatlah, bagaimana sikap beliau?
Hanya kepribadian beliau nan agung sebagai seorang nabi dan
keberadaan beliau sebagai suri teladan utama dalam Islam yang
menghalangi beliau untuk membiarkan Abu Bakar melabrak putrinya sendiri.
Karena pandangan Abu Bakar tidaklah salah. Tak seorangpun berhak
berteriak melebihi suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk istri beliau sendiri. Namun ini juga merupakan pembelajaran bagi para suami agar bersikap sabar. Toh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersabar, meskipun beliau lebih berhak untuk marah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau aku
boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesamanya, niscaya
sudah aku perintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)
Sejauh manakah sebagai istri kita telah berbakti terhadap suami kita?
Akankah panggung rumah tangga ini akan kita tutup tirainya dengan peran akhir kita sebagai istri durhaka?
Tidak malukah kita menghadap Allah dengan wajah tercoreng moreng?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap
kali seorang wanita menyakiti suaminya di dunia ini, pasti istri
suaminya itu dari kalangan bidadari Surga akan berkata, ‘Janganlah
engkau menyakitinya, semoga Allah membunuhmu. Ia hanya titipan buat
dirimu, sebentar lagi ia akan meninggalkanmu dan menemui kami.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai istri, sejauh mana pula kita telah berupaya membahagiakan suami kita selama ini?
Akankah kita membiarkan terjadinya perceraian dengan status sebagai pecundang?
Saat sekian bidadari menyambut kehadiran suami kita, bukankah kita
hanya memiliki sekilas kenangan yang suatu saat tidak akan berarti lagi?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak akan melihat wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia betul-betul membutuhkannya.” (lihat Al-Mustadrak)
Kepada
istri, suami, dan siapapun yang terlibat dalam kasus perceraian
pasangan suami istri yang sebelumnya hidup dengan tentram, cobalah
sejenak berpikir lebih mendalam:
Sederetan bocah-bocah tak bersalah akan menjadi anak-anak terlantar.
Sekumpulan para wanita suci akan termenung membayangkan kenangan manisnya.
Sekian pria menduda terpaksa mengurus diri sendiri, terlepas dari sentuhan lembut istri dan anak-anak tercinta.
Cobalah pikirkan, saat sepasang makhluk hidup yang hidup penuh cinta
kasih, akan berubah menjadi para musuh yang memperlihatkan dirinya
sebagai orang yang terbebas dari salah?
Di sisi lain, banyak orang tua yang akan menonton kesedihan
anak-anaknya, saat mereka meratapi perpisahan dengan buah hati mereka!!
Sebelum itu terjadi, berupayalah sebaik mungkin agar kepedihan itu tidak
pernah terjadi.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
bertolong-tolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah
bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. Sesungguhnys Allah Maha
Hebat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)
Suami maupun istri, masih memegang kendali keputusan, selama mereka masih mau bertolong-tolongan dalam ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sebab
itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah
orang-orang beriman.” (QS. Al-Anfal: 1)
Akad pernikahan adalah ikatan persaudaraan, sementara perceraian adalah pemutus cinta kasih dan kebersamaan.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka
adalah penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan. Kemudian beliau menganyam jari-jari tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
sumber silakan klik di sini
No comments:
Post a Comment