oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Suatu saat seorang suami datang kepada saya. Belum saya
persilakan masuk, laki‐laki muda ini segera duduk dan berbicara panjang
lebar, bahkan sebelum memperkenalkan diri dan bertanya apakah saya punya
waktu saat itu. Ia terus saja berbicara. Ketika hand‐phone
saya berdering dan kemudian saya berbicara dengan penelpon, lelaki ini
tetap saja bercerita dengan meluap‐luap. Tak terkendali ia bicara. Saya
ke dapur mengambilkan minum untuknya, ia tetap berbicara sendirian.
Akhirnya, saya berkesimpulan tamu saya kali ini pastilah mempunyai beban
emosi yang sangat berat. Begitu beratnya sehingga ia sudah kehilangan
kendali. Ia tak lagi membutuhkan pendengar yang mau mengerti
perkataannya. Ia hanya butuh kesempatan untuk menumpahkan isi hati dan
kekesalannya dengan tuntas.
Pertemuan pertama hampir tak ada yang bisa digali, kecuali bahwa ia
mempunyai konflik berat dengan istrinya. Meski waktu masih memungkinkan
untuk berbincang panjang dengannya, tetapi saya melihat bukan saat yang
tepat. Baru saja ia menumpahkan secara meluap‐luap beban emosinya.
Ibarat komputer, sistemnya perlu direstart dulu agar bisa melihat
masalah sendiri dengan baik. Kali ini, yang paling penting ia bisa
menata kembali pikirannya, menyusun kembali kemarahan, kekecewaan,
kesedihan dan juga kerapuhan jiwanya dengan baik. Bahasa komputernya,
kesempatan pertama lebih banyak saya manfaatkan untuk memberi kesempatan
kepadanya melakukan defragmentasi pikiran‐pikiran dan emosinya sehingga ia bisa menempatkannya secara lebih teratur.
Pertemuan berikutnya, saudara kita ini sudah bisa menceritakan secara
lebih jelas masalah apa yang ia hadapi. Meski masih melompat‐lompat dan
banyak yang berulang‐ulang, saya mulai bisa menangkap akar masalahnya.
Pada pertemuan berikutnya lagi, mulailah kelihatan penyebab konflik
rumah‐tangganya yang berlarut‐larut. Di antara penyebab utama
pertikaian yang menimbulkan kekerasan fisik satu sama lain–istrinya
sering bertindak sangat kasar sampai melukai suaminya—adalah kegagalan
komunikasi (communication breakdown). Kedua‐duanya keras, mudah tersinggung sekaligus mudah terbakar emosinya menjadi perilaku yang membahayakan.
Sebenarnya, tidak masalah suami‐istri sama‐sama memiliki sifat mudah
tersinggung, keras dan mudah marah, sejauh keduanya saling menyadari
tentang sifat buruk mereka.Berawal dari saling menyadarii ni, mereka
belajar untuk saling mengenali penanda‐penanda emosi dari kedua belah
pihak. Istri saya misalnya, tahu saya sedang marah, bad mood (suasana
hati sedang negatif) atau pikiran sedang tegang dari rambut saya.
Diam‐diam ia rupanya menandai bahwa setiap kali satu dari tiga situasi
buruk itu muncul, rambut di ubun‐ubun saya berdiri. Alhasil begitu
melihat penanda emosi itu muncul, istri saya segera mengambil langkah
yang perlu. Misalnya bertanya apa yang sedang saya alami atau sejenak
mengajak anak-anak agar tidak gaduh.
Dari sejarah kita belajar, kisah romantis antara Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam dengan istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tak lepas dari kepekaan Rasulullahsaw. Mengenal penanda suka dan marahnya hati ‘Aisyah.
Diriwayatkan dari‘ Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ‘Sungguh aku dapat mengetahui kapan engkau sedang suka padaku dan bila engkau lagi marah.”
‘Aisyah bertanya, “Darimana engkau tahu?”
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bila engkau sedang suka padaku, engkau berkata, “Demi Tuhannya Muhammad.” Dan apabila engkau sedang marah padaku, engkau berkata, “Sungguh, demi Tuhannya Ibrahim.”’
‘Aisyah berkata, “Demi Allah, memang benar ya Rasulullah, yang tidak kusebut hanyalah namamu.”(HR. Bukhari & Muslim).
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Kepekaan untuk mengenali
penanda emosi istri. Berpijak dari mengenali penanda ini, kita bisa
menentukan sikap dengan lebih tepat dan menahan diri dari perilaku yang
bisa memperkeruh. Jadi, bukan justru menyulut emosi. Inilah yang sering
saya sebut sebagai kedewasaan emosi; kemampuan untuk mengenali,
memahami dan menerima dengan baik.
Selanjutnya, mereka bisa belajar untuk saling mengkomunikasikan emosi
negatifnya dengan cara positif. Tidak saling marah, tidak saling
memojokkan dan tidak saling menyakiti. Emosi negatif bisa berupa rasa
kesal, marah maupun rasa tidak suka. Semuanya ini bisa mengganggu
hubungan suami dan istri. Jika dibiarkan, komunikasi antar kita akan
sangat rentan salah paham dan pertikaian. Tetapi emosi negatif itu bisa
diungkapkan dengan cara yang nyaman. Kita mengungkapkan perasaan yang
sedang kita alami. Bukan meluapkannya.
Kita bisa mengatakan,“Maaf, saya lagi marah. Emosi saya lagi negatif.”
Atau kita bisa berterus‐terang, “Mas, saya lagi tersinggung. Maafkan saya, ya… suasana hati saya sedang buruk.”
Jika situasinya memungkinkan, suami‐istrinya bisa mengungkapkan emosi
negatifnya dengan setuntas‐tuntasnya. Ia bicara secara terbuka
sekaligus dengan hati‐hati apa saja yang membuat kita marah atau sakit
hati. Tetapi kita harus menahan diri untuk tidak menyalahkan. Kita harus
ingat bahwa semarah apapun kita, komunikasi suami‐istri bertujuan untuk
mencapai titik temu terbaik; titik temu yang saling memberi kelegaan,
perasaan dihargai dan didengar.
Sampai di sini, kita masih perlu menahan diri untuk tidak
terburu‐buru mencari jalan keluar atas masalah yang sedang menyelimuti.
Ada kecenderungan, dalam situasi seperti ini kita masih belum bisa
berpikir secara jernih. Sebaliknya, kita cenderung masih ingin saling
memenangkan pendapat dan bahkan saling memojokkan. Kalau kita sendiri
masih belum bisa berpikir jernih, sebaik apapun jalan keluar yang
diajukan oleh suami atau istri kita, tetap saja sulit kita terima apa
adanya. Itu sebabnya, kita perlu menahan diri sejenak. Yang paling
penting untuk kita raih bersama adalah masing‐masing pihak merasakan
adanya iktikad baik, sehingga hati akan mudah menemukan kedamaian.
Kalau sekiranya pasangan kita masih meluap‐luap emosinya dan bahkan cenderung memuncak, maka belajar dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam
kita perlu menahan diri sejenak. Biarlah emosinya reda. Jangan
menyalahkan. Jangan pula menuntut. Bahkan andaikan kesalahan itu jelas
ada padanya, tahan diri sejenak. Bukankah ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sedang cemburu dan bahkan sebegitu cemburunya sampai memecahkan mangkok, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tidak sibuk menasehatinya? Barulah setelah tenang, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan untuk mengganti mangkok orang yang sudah dipecahkan.
Di saat emosinya masih meluap‐luap, boleh jadi obat yang paling tepat
untuk menahan emosi agar tidak semakin menghebat adalah kesediaan untuk
mendengar. Kita ikhlaskan diri untuk mendengar luapan emosinya tanpa
berkomentar. Kita terima apa adanya tanpa menyalahkan. Kalaupun ada yang
salah, kita bisa meluruskannya. Bukan menyalahkan. Itu pun harus
menunggu hingga secara emosi, keadaannya menjadi lebih baik.
Kalau emosi sudah reda, masing‐masing sudah saling tahu apa yang
tidak mengenakkan hati, kita bisa merencanakan waktu dan tempat yang tepat
untuk membicarakan. Barangkali memilih waktu yang tepat sama pentingnya
dengan menemukan jalan keluar yang baik. Membicarakan masalah di saat
suami baru saja terjaga dari tidur misalnya, merupakan waktu yang rawan
terhadap kesalahpahaman dan mudah menimbulkan letupan emosi.
Bicarakanlah masalah yang ada dengan santai. Diskusikanlah apa yang
sebaiknya kita lakukan dengan tenang dan dari hati ke hati. Bukan apa
yang kemarin seharusnya tidak dilakukan. Sebab ini hanya akan menambah
api kemarahan.
Wallahua’lambishawab.
sumber http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/mengungkapkan-kemarahan-menjaga-kemesraan/419544404761360
No comments:
Post a Comment