Dalam setiap tahun kasus siswa menyontek selalu saja ada di setiap
sekolah di manapun berada. Tidak perduli tingkat pendidikan sekolah dasar,
menengah pertama ataukah menengah umum dan kejuruan, meski tidak pernah
diajarkan sebagai mata pelajaran wajib atau muatan lokal di sekolah
tampaknya ada saja oknum siswa yang sengaja menyontek. Entah sebuah
tabiat ataukah genetik, sebab kalau boleh berandai-andai bisa jadi
anak-anak yang menyontek hari ini adalah anak dari orang tua yang di masa
sekolahnya juga menyontek. Tetapi, meski tidak bisa dibuktikan secara
ilmiah dan uji laboratorium, seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tanpa kita sadari keterampilan anak dalam menyontek semakin
saja terasah. Betapa tidak, sebut saja seorang siswa SD yang menyontek
di tahun pertama dia bersekolah dan hal tersebut dilakukan berulang, maka
setidaknya dia akan memiliki ketrampilan yang diasahnya sendiri dalam
waktu 6 tahun. Jika hal ini berlanjut di SMP maka akan bertambah 3
tahun, jika berlanjut lagi di SMA maka akan bertambah lagi 3 tahun.
Tanpa
memandang tingkat pendidikan dan tanpa memandang label suatu sekolah,
perilaku menyontek tetap saja ada. Seperti apa yang terjadi di tiap ujian
sekolah di sebuah sekolah Rintisan Bertaraf Internasional. Dan tepatnya
pada ulangan tengah semester tahun ini, sejak hari pertama selalu saja
ditemukan siswa menyontek disetiap ruang ujian. Selain memberi bukti
bahwa perilaku menyontek tidak memandang label sekolah, peristiwa ini
juga memberi bukti bahwa label sekolah belum tentu mencerminkan kualitas
siswa dan mutu pembelajaran didalamnya. Tentu hal ini bukan sebuah
prestasi melainkan ironi dari sekolah yang menyatakan dirinya sebagai
sekolah bertaraf internasional atau sekolah lain yang ada pada umumnya.
Seperti menjadi kecenderungan umum atau tradisi, anak sekolah hari ini
yang apabila tidak “menyontek” tidak trendy, dan mereka yang tidak
memberikan “contekan” bukan hanya akan dimusuhi tetapi akan terancam
tidak punya teman.
Menciptakan Pilihan
Tentu
masih segar di ingatan kita dengan peristiwa yang dialami Ny. Siami dan
Alifah Ahmad Maulana pada tahun 2011 lalu. Hanya karena membocorkan
skenario pencontekan masal yang terjadi pada saat Ujian Nasional (UN) di
SDN Gadel II Kecamatan Tandes Surabaya, tempat sekolah anaknya, Ny.
Siami dan keluarganya terpaksa harus diusir dari rumahnya dan diancam
dikeluarkan dari sekolah. Pengusiran dan teror tersebut dilakukan oleh
para orang tua murid yang merasa tindakan Ny.Siami akan mengakibatkan
diberlakukannya ujian ulang bagi anak-anak mereka.
Sebenarnya
terdapat kasus menyontek bukan hal baru di Indonesia, penelitian yang
menunjukkan bahwa perilaku menyontek dilakukan siswa diantaranya oleh
Alma (dalam Kushartanti, 2009) yang mengungkapkan bahwa 100% siswa
pernah menyontek dalam ujian. Lebih separuh diantaranya sering dan
seringkali menyontek. Penelitian lain pada siswa SMA di Surabaya
menyebutkan bahwa 80% siswa pernah menyontek, 52% sering dan 28% jarang.
Media yang paling banyak digunakan sebagai sarana menyontek adalah
teman 38% dan meja tulis 26% (Khotimah, 2009). Mengapa ini bisa terjadi ?
Kita
semua pernah sekolah, demikian pula anak-anak kita. Diantara anak-anak
itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah.
Namun harus diakui semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian
tiba, bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah.
Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang
disebut Vicki Abeles sebagai sebuah “Race to No Where”. Perlombaan besar
yang muaranya, tidak jadi apa-apa juga. Hidup kita jadi terbalik-balik.
Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa
sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi
terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku
populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara “goblok”nya Bob
Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang
menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya: “The
Power of Malas”. Sungguh, ini sangat sulit! Mengapa sulit? Tentu
bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.
Pengalaman
saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum
tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada
anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal menurut
Renald Kasali “memorizing is not a good thinking”. Menghafal bukanlah
cara berpikir yang baik. Maka dari itu, mata pelajaran yang terlalu
bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, dan guru-guru pun harus
dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem
pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus
berubah, dari menghafal menjadi berpikir.
Melatih manusia berpikir
adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan
nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar, meski
beresiko tersesat. Tetapi bukankah hanya orang tersesat saja yang
berpikir? Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang
tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau
kelompoknya sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadi
manusia kreatif. Pilihan yang harus dipilih bukan hanya mata ajaran yang
harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaran pun perlu
disempurnakan serta termasuk cara berpikir guru dan orang tua.
Perubahan
pola pikir guru dan orang tua dimulai dengan memandang persoalan
menyontek bukan sebagai benar atau salah. Persoalan menyontek tidak ada
akan selesai dengan memberikan sangsi atau sekedar membuat surat
pernyataan yang kemudian ditempel di setiap dinding sekolah. Pola pikir
guru dan orang tua tidak boleh meninggalkan dasar pendidikan sebagai
proses kemanusiaan. Jika kita ingin merubah pola pikir kita maka
menyontek jangan dianggap sebagai hal biasa dan sederhana. Terlebih
dengan beragam fakta penelitian dan pemberitaan, maka lebih tepat
apabila menyontek merupakan persoalan kompleks yang terbentuk karena
minimnya pilihan dari proses pembelajaran yang serba seragam. Soal
ujian yang lebih membutuhkan hafalan, dari sekedar penalaran yang
merangkai beragam informasi harus diakui turut memberikan kontribusi.
Sehingga, perubahan pola pendidikan dari menghafal menjadi berpikir
dengan sendirinya akan memberikan pilihan baru bagi siswa untuk tidak
menyontek pada tahap awal.
Kreatif dan bernilai
Dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hari ini tentunya
pengetahuan sebagai keluaran proses pendidikan tidaklah cukup. Sebab,
baik guru, sekolah dan orang tua tidak dapat memperkirakan dengan pasti
pengetahuan apa yang dibutuhkan dimasa depan.
Hasil penelitian terakhir
tentang masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang,
menyebutkan bahwa seorang individu harus dapat menyerap informasi
sebanyak 820.000 kata per minggu atau minimal setiap hari ia harus
membaca antara 4—6 jam. Dengan dasar inilah mengapa “tradisi hafalan”
dalam pendidikan kita menjadi tidak relevan pada hari ini. Anak-anak di
sekolah harus dibekali dengan kemampuan untuk mengelola beragam
informasi sebagai sebuah jawaban persoalan. Untuk itulah konsep
pendidikan yang selama ini diterapkan sekolah yang hanya melibatkan
elemen guru dan siswa harus dirubah. Menurut Yu Sien Lien (2011) konsep
pendidikan yang harus coba diterapkan adalah konsep pendidikan kreatif
(creative pedagogy).
Konsep pendidikan kreatif (creative pedagogy)
berkembang seiring penelitian yang membuktikan bahwa kreativitas yang
selama ini dipersepsikan sebagai bakat alam ternyata dapat dibentuk
melalui beberapa strategi. Kreativitas yang dimaksud bukan saja
kreativitas “seni’ tetapi juga kreatifitas penyelesaian masalah (problem
solving). Oleh sebab itu dalam pendidikan kreatif (creative pedagogy)
melibatkan tiga hal, pengajar yang kreatif (teaching for creativity),
materi dan teknik pengajaran kreatif (creative teaching) dan
pembelajaran kelas yang kreatif (creative learning). Sehingga pada
gilirannya pembelajaran dan pengajaran tidak sebatas pada transfer
pengetahuan tetapi transfer nilai dan keterampilan hidup (life skill).
Merujuk pada komitmen pendidik masa depan untuk tidak memaksakan
pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif
sejalan dengan konsep pembelajaran UNESCO sebagai learning to learn
critically, learning to do creatively, learning to work together
constructively, dan learning how to be wise. Agar output pendidikannya
tidak hanya mampu bersaing dimasa depan tetapi juga memberi kontribusi
positif terhadap masyarakat.
Di sekolah kita, pendidikan kreatif
tentu bukan hal yang baru, tetapi banyak di antara kita yang menganggap
bahwa aspek kreatif hanya sebatas pada teknik, metode dan keterlibatan
anak dalam pembelajaran. Padahal menurut Yu Sien Lien (2011), pendidikan
kreatif berkaitan erat pula terhadap kualitas guru dan lingkungan
sekolah. Dengan prinsip inilah sekolah harus memperlakukan anak-anak
yang menyontek sebagai potensi kreatif yang perlu diarahkan. Sehingga
sangsi yang diberikan jangan sampai meninggalkan trauma psikologis
dengan mempermalukan siswa yang bersangkutan. Pemberian sanksi harus
diubah lebih kreatif dengan tanpa meninggalkan proses transfer nilai
dari guru, yang dapat ditempuh dalam beragam penugasan sebagai bentuk
pendampingan perilaku. Untuk pelaku tindakan menyontek, guru harus
mengingatkan siswa tentang pentingnya membangun integritas diri terkait
kepercayaan orang lain kepada kita. Transfer nilai merupakan wujud peran
penting sekolah dan guru sebagai penegak tatanan nilai didalam
masyarakat.
Pendidikan kreatif membutuhkan lebih dari sekedar guru
yang pandai dan tegas memberikan sanksi kepada siapa saja yang
melanggarnya. Guru yang kreatif harus memiliki segudang cara untuk
membangkitkan potensi anak didiknya. Pelaksanaan pendidikan kreatif
harus syarat dengan nilai kemanusiaan, sebab hal yang tidak bisa diubah
adalah setiap individu memiliki potensi yang sama untuk menjadi kreatif.
Tidak terkecuali bagi pelaku tindakan menyontek, sebab prinsip
kemanusian disekolah berarti memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap
anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Referensi:
Robina Shaheen. 2010. Creativity and education. Creative Education 2010. Vol. 1. No. 3
Yanur Setyaningrum. 2011. Jihad Melawan Ketidakjujuran Akademik; Tantangan Guru Muhammadiyah http://yanursetyaningrum.guru-indonesia.net/artikel_detail-21399.html
Yu-Sien
Lin. 2011. Fostering Creativity through Education-A Conceptual
Framework of Creative Pedagogy. Creative Education 2011. Vol. 2. No. 3
sumber http://netsains.net/2012/12/guru-kreatif-dan-tradisi-menyontek/
No comments:
Post a Comment