Sunday, December 23, 2012

Guru Kreatif dan Tradisi Menyontek

Dalam setiap tahun kasus siswa menyontek selalu saja ada di setiap sekolah di manapun berada. Tidak perduli tingkat pendidikan sekolah dasar, menengah pertama ataukah menengah umum dan kejuruan, meski tidak pernah diajarkan sebagai mata pelajaran wajib atau muatan lokal di sekolah tampaknya ada saja oknum siswa yang sengaja menyontek. Entah sebuah tabiat ataukah genetik, sebab kalau boleh berandai-andai bisa jadi anak-anak yang menyontek hari ini adalah anak dari orang tua yang di masa sekolahnya juga menyontek. Tetapi, meski tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan uji laboratorium, seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa kita sadari keterampilan anak dalam menyontek semakin saja terasah. Betapa tidak, sebut saja seorang siswa SD yang menyontek di tahun pertama dia bersekolah dan hal tersebut dilakukan berulang, maka setidaknya dia akan memiliki ketrampilan yang diasahnya sendiri dalam waktu 6 tahun. Jika hal ini berlanjut di SMP maka akan bertambah 3 tahun, jika berlanjut lagi di SMA maka akan bertambah lagi 3 tahun.

Tanpa memandang tingkat pendidikan dan tanpa memandang label suatu sekolah, perilaku menyontek tetap saja ada. Seperti apa yang terjadi di tiap ujian sekolah di sebuah sekolah Rintisan Bertaraf Internasional. Dan tepatnya pada ulangan tengah semester tahun ini, sejak hari pertama selalu saja ditemukan siswa menyontek disetiap ruang ujian. Selain memberi bukti bahwa perilaku menyontek tidak memandang label sekolah, peristiwa ini juga memberi bukti bahwa label sekolah belum tentu mencerminkan kualitas siswa dan mutu pembelajaran didalamnya. Tentu hal ini bukan sebuah prestasi melainkan ironi dari sekolah yang menyatakan dirinya sebagai sekolah bertaraf internasional atau sekolah lain yang ada pada umumnya. Seperti menjadi kecenderungan umum atau tradisi, anak sekolah hari ini yang apabila tidak “menyontek” tidak trendy, dan mereka yang tidak memberikan “contekan” bukan hanya akan dimusuhi tetapi akan terancam tidak punya teman.

Menciptakan Pilihan

Tentu masih segar di ingatan kita dengan peristiwa yang dialami Ny. Siami dan Alifah Ahmad Maulana pada tahun 2011 lalu. Hanya karena membocorkan skenario pencontekan masal yang terjadi pada saat Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II Kecamatan Tandes Surabaya, tempat sekolah anaknya, Ny. Siami dan keluarganya terpaksa harus diusir dari rumahnya dan diancam dikeluarkan dari sekolah. Pengusiran dan teror tersebut dilakukan oleh para orang tua murid yang merasa tindakan Ny.Siami akan mengakibatkan diberlakukannya ujian ulang bagi anak-anak mereka.

Sebenarnya terdapat kasus menyontek bukan hal baru di Indonesia, penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku menyontek dilakukan siswa diantaranya oleh Alma (dalam Kushartanti, 2009) yang mengungkapkan bahwa 100% siswa pernah menyontek dalam ujian. Lebih separuh diantaranya sering dan seringkali menyontek. Penelitian lain pada siswa SMA di Surabaya menyebutkan bahwa 80% siswa pernah menyontek, 52% sering dan 28% jarang. Media yang paling banyak digunakan sebagai sarana menyontek adalah teman 38% dan meja tulis 26% (Khotimah, 2009). Mengapa ini bisa terjadi ?

Kita semua pernah sekolah, demikian pula anak-anak kita. Diantara anak-anak itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah. Namun harus diakui semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian tiba, bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah. Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang disebut Vicki Abeles sebagai sebuah “Race to No Where”. Perlombaan besar yang muaranya, tidak jadi apa-apa juga. Hidup kita jadi terbalik-balik. Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara “goblok”nya Bob Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya:  “The Power  of Malas”. Sungguh, ini sangat sulit!  Mengapa sulit?  Tentu bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.

Pengalaman saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal menurut Renald Kasali “memorizing is not a good thinking”. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik. Maka dari itu, mata pelajaran yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, dan guru-guru pun harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar, meski beresiko tersesat. Tetapi bukankah hanya orang tersesat saja yang berpikir? Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau kelompoknya sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadi manusia kreatif. Pilihan yang harus dipilih bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaran pun perlu disempurnakan serta termasuk cara berpikir guru dan orang tua.

Perubahan pola pikir guru dan orang tua dimulai dengan memandang persoalan menyontek bukan sebagai benar atau salah. Persoalan menyontek tidak ada akan selesai dengan memberikan sangsi atau sekedar membuat surat pernyataan yang kemudian ditempel di setiap dinding sekolah. Pola pikir guru dan orang tua tidak boleh meninggalkan dasar pendidikan sebagai proses kemanusiaan. Jika kita ingin merubah pola pikir kita maka menyontek jangan dianggap sebagai hal biasa dan sederhana. Terlebih dengan beragam fakta penelitian dan pemberitaan, maka lebih tepat apabila menyontek merupakan persoalan kompleks yang terbentuk karena minimnya pilihan dari proses pembelajaran yang serba seragam.  Soal ujian yang lebih membutuhkan hafalan, dari sekedar penalaran yang merangkai beragam informasi harus diakui turut memberikan kontribusi. Sehingga, perubahan pola pendidikan dari menghafal menjadi berpikir dengan sendirinya akan memberikan pilihan baru bagi siswa untuk tidak menyontek pada tahap awal.

Kreatif dan bernilai

Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hari ini tentunya pengetahuan sebagai keluaran proses pendidikan tidaklah cukup. Sebab, baik guru, sekolah dan orang tua tidak dapat memperkirakan dengan pasti pengetahuan apa yang dibutuhkan dimasa depan. 

Hasil penelitian terakhir tentang masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang, menyebutkan bahwa seorang individu harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per minggu atau  minimal setiap hari ia harus membaca antara 4—6 jam. Dengan dasar inilah mengapa “tradisi hafalan” dalam pendidikan kita menjadi tidak relevan pada hari ini. Anak-anak di sekolah harus dibekali dengan kemampuan untuk mengelola beragam informasi sebagai sebuah jawaban persoalan. Untuk itulah konsep pendidikan yang selama ini diterapkan sekolah yang hanya melibatkan elemen guru dan siswa harus dirubah. Menurut Yu Sien Lien (2011) konsep pendidikan yang harus coba diterapkan adalah konsep pendidikan kreatif (creative pedagogy).

Konsep pendidikan kreatif (creative pedagogy) berkembang seiring penelitian yang membuktikan bahwa kreativitas yang selama ini dipersepsikan sebagai bakat alam ternyata dapat dibentuk melalui beberapa strategi. Kreativitas yang dimaksud bukan saja kreativitas “seni’ tetapi juga kreatifitas penyelesaian masalah (problem solving). Oleh sebab itu dalam pendidikan kreatif (creative pedagogy) melibatkan tiga hal, pengajar yang kreatif (teaching for creativity), materi dan teknik pengajaran kreatif (creative teaching) dan pembelajaran kelas yang kreatif (creative learning). Sehingga pada gilirannya pembelajaran dan pengajaran tidak sebatas pada transfer pengetahuan tetapi transfer nilai dan keterampilan hidup (life skill). Merujuk pada komitmen pendidik masa depan untuk tidak memaksakan pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif sejalan dengan konsep pembelajaran UNESCO sebagai learning to learn critically, learning to do creatively, learning to work together constructively, dan learning how to be wise. Agar output pendidikannya tidak hanya mampu bersaing dimasa depan tetapi juga memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.

Di sekolah kita, pendidikan kreatif tentu bukan hal yang baru, tetapi banyak di antara kita yang menganggap bahwa aspek kreatif hanya sebatas pada teknik, metode dan keterlibatan anak dalam pembelajaran. Padahal menurut Yu Sien Lien (2011), pendidikan kreatif berkaitan erat pula terhadap kualitas guru dan lingkungan sekolah. Dengan prinsip inilah sekolah harus memperlakukan anak-anak yang menyontek sebagai potensi kreatif yang perlu diarahkan. Sehingga sangsi yang diberikan jangan sampai meninggalkan trauma psikologis dengan mempermalukan siswa yang bersangkutan. Pemberian sanksi harus diubah lebih kreatif dengan tanpa meninggalkan proses transfer nilai dari guru, yang dapat ditempuh dalam beragam penugasan sebagai bentuk pendampingan perilaku. Untuk pelaku tindakan menyontek, guru harus mengingatkan siswa tentang pentingnya membangun integritas diri terkait kepercayaan orang lain kepada kita. Transfer nilai merupakan wujud peran penting sekolah dan guru sebagai penegak tatanan nilai didalam masyarakat.

Pendidikan kreatif membutuhkan lebih dari sekedar guru yang pandai dan tegas memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggarnya. Guru yang kreatif harus memiliki segudang cara untuk membangkitkan potensi anak didiknya. Pelaksanaan pendidikan kreatif harus syarat dengan nilai kemanusiaan, sebab hal yang tidak bisa diubah adalah setiap individu memiliki potensi yang sama untuk menjadi kreatif. Tidak terkecuali bagi pelaku tindakan menyontek, sebab prinsip kemanusian disekolah berarti memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.


Referensi:
Robina Shaheen. 2010. Creativity and education. Creative Education 2010. Vol. 1. No. 3

Yanur Setyaningrum. 2011. Jihad Melawan Ketidakjujuran Akademik; Tantangan Guru Muhammadiyah  http://yanursetyaningrum.guru-indonesia.net/artikel_detail-21399.html

Yu-Sien Lin. 2011. Fostering Creativity through Education-A Conceptual Framework of Creative Pedagogy. Creative Education 2011. Vol. 2. No. 3

sumber  http://netsains.net/2012/12/guru-kreatif-dan-tradisi-menyontek/

No comments:

Post a Comment