Sunday, December 23, 2012

Ketika Proses Pembelajaran Kehilangan Humor

Oleh: Amri Ikhsan *)

13560957471129257821
Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

Pendidikan itu adalah proses berfikir perlu keseriusan apalagi proses pembelajaran. Semua langkah sebelum, dalam dan sesudah proses pembelajaran yang dilakukan guru adalah proses serius, penuh konsentrasi dan harus terukur. Apapun tugas guru, apapun beban kerja  sudah dipikir dengan serius oleh pemerintah melalui UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru/Dosen, PP nomor 74 tentang guru. Ini pekerjaan serius
Tapi, masalah yang sering muncul dalam proses pembelajaran adalah kejenuhan, kebosanan, ketegangan siswa yang terjebak dalam rutinitas yang dijalani setiap hari. Ditambah lagi dengan ‘penampilan’ guru kadang kadang ‘membunuh’ kreatifitas siswa, yaitu dengan menjadi ‘penguasa tunggal’ dalam kelas. Siswa ‘wajib’ mengikuti perintah penguasa tunggal ini tanpa kecuali.
Dilain pihak, ini bisa dimaklumi, tiap hari siswa dipaksa untuk menguasai materi pelajaran tanpa terukur berapa kuat kemampuan mengingat, menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran. Setiap hari 4-5 materi, mulai dari jam 07.15 sampai siang bahkan sore. Siswa biasanya merasa sedikit fresh ketika hanya pada awal pelajaran, setelah itu mereka akan kehilangan semangat belajar bukan karena tidak mau belajar tapi karena proses pembelajaran yang monoton tanpa ketawa, tegang, penuh tekanan.
Tidak ‘segarnya’ siswa dalam proses pembelajaran bisa jadi karena terlalu serius guru  dalam mengelola pembelajaran. Kelihatannya, guru begitu antusias dalam menyampaikan materi pembelajaran seperti yang tertuang dalam kurikulum dan buku pelajaran tanpa mempertimbangkan ‘perasaan’ siswa. Dalam hal ini, siswa ‘wajib’ duduk dalam kelas, memperhatikan guru, tidak boleh ‘ribut’, tanpa memperhatikan apakah ia senang atau tidak. Siswa tidak boleh keluar dari ‘aturan main’ yang ditetapkan oleh guru itu sendiri.
“Kisah nyata ini” diperparah oleh “persepsi” guru yang tidak peduli dan sengaja membiarkan proses pembelajaran berjalan begitu saja, tanpa inovasi, pokoknya guru sudah menyampaikan materi pembelajaran tanpa ada gebrakan yang bisa ‘menghidupkan’ siswa untuk belajar. Sering sekali, guru masuk kelas hanya untuk memberi tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) selama proses pembelajaran berlangsung. Guru juga dalam berkomunikasi dengan siswa hanya diawali dengan ceramah dan diakhiri dengan penugasan, begitu seterusnya. Tidak ada kata kata inspiratif, ungkapan ungkapan yang merangsang siswa untuk tersenyum atau ketawa yang mampu membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar.
Berhubungan dengan LKS, ada 7 (tujuh) ayat dosa LKS: (1) keberadaan LKS menumbuhkan kejenuhan siswa dalam belajar. Guru saja banyak yang tidak suka LKS apalagi siswa; (2) memunculkan ketidak-kreatifan guru dalam proses pembelajaran; (3) menghambat guru dan siswa untuk berinovasi; (4) membuat ‘enak’ bagi guru tapi membuat jenuh bagi siswa; (5) mengiritkan bicara guru. Padahal bicara guru merupakan interaksi dengan siswa yang merupakan inti proses pembelajaran; (6) “memaksa” siswa untuk tidak membeli buku padahal buku itulah gudang ilmu; (7) LKS membuat guru ‘sedikit tersenyum’ mungkin karena dapat ‘fee”.
Akibatnya, pembelajaran di kelas bukan membuat siswa riang, kreatif dan segar. Tetapi justru menjadi momok yang cukup menakutkan, menegangkan dan menciptakan kelesuan dan kebosanan. “Penderitaan panjang siswa” dalam interaksi proses pembelajaran sering terjadi setiap jam pelajaran berlangsung. Kelas tidak lagi kondusif, siswa enggan masuk kelas, siswa diam ‘seribu bahasa’, kelas lesu, tidak ada diskusi, tanya jawab yang segar akibat komunikasi guru dan siswa yang tidak dibingkai dalam suasana keceriaan.
Ada 7 (tujuh) ayat yang mengindikasikan peserta didik tidak diajak senyum atau tertawa oleh guru dalam proses pembelajaran: (1) siswa tidak suka mata pelajaran yang diajarkan oleh guru itu; (2) siswa tidak memiliki buku mata pelajaran yang diajarkan guru itu; (3) siswa tidak pernah mengulang materi yang diajarkan oleh guru itu; (4) siswa sering bolos; (5) catatan siswa untuk pelajaran itu tidak teratur; (6) setelah tamat, tidak akan mengambil jurusan yang diajarkan guru itu; (7) ‘siswa kelihatan lebih tua dari siswa yang sering tertawa’.
Kelas yang tidak bergairah secepatnya di-reorganisasi secara holistik dengan ; (1) menggunakan bahasa yang ‘dekat dengan siswa’ walaupun itu bahasa ibu siswa: ‘apo cerito’, apo lokak’ dll; (2) ‘mengobral’ pujian verbal: “bagus”, baik”, semua tugas bernilai baik, dll.; (3) menggunakan tes dan nilai otentik, atau menilai teman sendiri. (4) merangsang rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi dengan memberikan pertanyaan yang ‘kontroversial’, yaitu pertanyaan yang bisa dipastikan siswa memiliki jawaban atas pertanyaan itu: “ mana yang muncul terlebih dulu, telor atau ayam”. (5) membuat kegiatan edukatif lain, siswa diminta membuat soal sendiri dan menjawab sendiri; (6) mengeksplor pengalaman pribadi siswa, dengan meminta siswa menceritakan hal hal pernah mereka lakukan dimasa lalu, dll dan dihubungkan materi pelajaran; (7) meyelipkan humor edukatif, permainan, simulasi, bernyanyi, dll.
Dihipotesakan, salah satu cara untuk menciptakan suasana segar dalam proses pembelajaran adalah dengan menciptakan humor edukatif. Keberadaan humor dapat mencairkan situasi yang kaku, tegang, memecahkan kejenuhan, kebosanan, membuat siswa ceria, tersenyum, tertawa.
Peran guru dalam memunculkan humor edukatif bukan ingin mengubah penampilan guru menjadi pelawak atau badut. Guru tetaplah guru. Humor guru haruslah cerdas, kreatif dan inovatif dalam rangka merangsang siswa untuk berfikir segar dan kritis sambil tertawa atau tersenyum. Tawa senyum siswa bukan sekedar ketawa lepas tetapi tawa sarat makna, tawa akademik, tawa yang membuat siswa segar untuk melanjutkan materi belajar berikutnya.
Humor edukatif tersebut bisa disampaikan secara langsung oleh guru, misalnya dengan menanyangkan media ”film/slide” lucu yang sudah banyak tersedia di internet melalui LCD, memberikan tebakan lucu, gambar lucu, dll.
Humor tidak sekedar mengajak kita berhenti cuma pada ketawa. Humor yang bermutu, sesudah terbahak-bahak yang sangat melegakan jiwa, nalar kita berkembang menuju pemahaman lebih dalam lagi (Mohammad Sobary, 2000). Humor yang ideal adalah membuat siswa terpancing untuk tersenyum dan tertawa dan ini harus dimanfaatkan guru sebagai satu titik kembalinya kesegaran siswa untuk melanjutkan proses pembelajaran dengan lebih semangat.
Humor tidak sama dengan tertawa murahan, ia lebih kaya dan lebih menuntut dibandingkan bercanda (Ira Shor, 2001). Menurut Adrew How (2005), humor yang sehat mampu mengurangi stress, memberi perspektif baru dan perasaan lebih baik. Humor yang negatif bisa menyinggung perasaaan orang lain, meningkatkan ketegangan dan perasaan lebih buruk.
Secara konseptual, membuat siswa tersenyum dan tertawa dalam proses pembelajaran tidak boleh terhenti pada terbangunnya kelas yang menyenangkan, penuh keakraban, segar, dan penuh toleransi serta mampu membangkitkan kembali motivasi siswa, tapi sebaiknya humor edukatif juga menciptakan kegairahan kembali (remotivasi) siswa untuk belajar lebih semangat dan rajin. Kelas yang penuh keterbukaan, penuh dengan senyum dan ketawa edukatif, akrab, dan gairah, segar bisa dipastikan memberi peluang bagi siswanya untuk lebih kreatif dibanding kelas yang kurang bergairah, tegang, lesu dan tertekan.
Banyak cara yang bisa dieksplor dalam pembelajaran untuk memancing siswa tersenyum dan tertawa: membuat kalimat yang tidak biasa, mengkontaskan kenyataan, memberi contoh yang dekat dengan siswa, menggunakan majas majas kontradiktif, dll. Bentuknya bisa berupa cerita humor, anekdot, sindiran, dan aksi dalam pembelajaran, atau dengan pantun jenaka atau pengalaman hidup siswa. Guru secara kreatif dapat menciptakan humor sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan pembelajaran agar lebih kontekstual.
Ada 7 (tujuh) ayat yang bisa dilakukan guru dalam memunculkan humor akademik: (1) teka teki lucu, misalnya (a) sebuah pohon kelapa dibelakang rumah disambar petir, kenapa orang orang menebang pohon kelapa itu?; (b) semakin dibuang isinya, semakin besar?, dll; (2) memampilkan gambar gambar lucu; (3) menampilkan video video lucu. Ini bisa di unduh di situs ‘youtube’; (4) tongue twister; (5) anekdot; (6) bermain angka; (7) membalikkan fakta, dll.
Semakin sering siswa tersenyum dan tertawa tentu saja membuat proses pembelajaran berlangsung dengan segar tanpa tekanan sekaligus membuat siswa kelihatan ‘lebih muda’ dan usia mereka dan mestinya akan melenjitkan prestasi siswa. Coba saja!

(*Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian dan Dosen STAI Muara Bulian)

sumber  http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/21/ketika-proses-pembelajaran-kehilangan-humor-517906.html

No comments:

Post a Comment